Benar adanya bahwa ketika kita menginginkan sesuatu, seisi dunia ini akan berkonspirasi untuk mengabulkan keinginan kita itu. Hal ini terjadi kepada saya beberapa waktu yang lalu. Sedari dulu saya ingin sekali menghadiri Ubud Writers & Readers Festival. Ya, sebuah festival berskala internasional yang dihadiri dan atau menghadirkan para orang-orang hebat yang berkecimpung di dunia sastra, budaya dan seni. Lebih khususnya lagi, acara tersebut dihadiri dan atau menghadirkan para penulis. Namun apa daya, Bali tidak bisa (atau belum bisa) saya tempuh dengan mudah karena satu dan lain hal. Maka impian tersebut biarlah menjadi target jangka panjang saya.
Nah, beberapa waktu yang lalu, ada seorang teman saya yang mengabarkan saya tentang sebuah event. Event itu adalah ASEAN Literary Festival 2014. Mendengar kata “literary” sontak membuat tangan saya gatal untuk mem-browsing keberadaan acara tersebut melalui Google. Ya, sebagaimana teman-teman tahu, bahwa saya sangat menaruh perhatian saya ke dalam dunia sastra. Tanpa terlalu banyak basa-basi, saya langsung mengiyakan tawaran teman saya tersebut. Kebetulan pada waktu event itu diadakan, schedule saya sedang kosong. Teman saya pun bersegera meregistrasikan dirinya dan saya.
Setelah saya mencari-cari informasi tentang ASEAN Literary Festival 2014, saya teringat Ubud Writers & Readers Festival. Saya berpikir bahwa kedua acara tersebut adalah acara yang serupa tapi tak sama. Perbedaannya yang kasat mata hanya terletak pada cakupan wilayahnya. Maka saya sangat bersyukur bisa mengetahui tentang event ini. Alhamdulillah, Allah telah mendekatkan yang jauh. Saya jadi semakin percaya bahwa suatu saat nanti saya akan dapat menghadiri Ubud Writers & Readers Festival di Bali. Terima kasih juga saya ucapkan untuk teman saya, Zuhra, yang telah mengajak saya untuk pergi bersama ke ASEAN Literary Festival 2014. :)
ASEAN Literary Festival Poster. Source: veooz.com |
Sabtu sore, tepatnya tanggal 22 Maret 2014, saya berangkat menuju rumah neneknya Zuhra yang berada di Cililitan. Mengapa saya berangkat sore? Karena rencananya saya dan Zuhra akan menghadiri sesi ASEAN Literary Festival di pagi hari pada tanggal 23 Maret 2014. Saya berangkat sore untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Misalnya saja, jika saya berangkat dari Bekasi pada Minggu pagi, tetiba turun hujan. Lalu lintas pun macet sehingga saya jadi telat untuk menghadiri acaranya. Saya paling tidak bisa memaafkan diri saya sendiri ketika saya terlambat menghadiri sesuatu. Saya lebih memegang prinsip “lebih baik terlalu cepat daripada terlambat” daripada “lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali”. Maka dari itu, saya menginap saja di rumah neneknya Zuhra agar keesokan paginya bisa sampai ke tempat acara dengan tepat waktu.
Minggu pagi, 23 Maret 2014, Jakarta diguyur hujan yang cukup lebat. Saya dan Zuhra berangkat ke Taman Ismail Marzuki agak telat dari waktu yang direncanakan sebelumnya. Kami berangkat dengan menaiki bus Transjakarta. Setelah sampai di salah satu halte, karena tidak ada Transjakarta yang berhenti persis di depan Taman Ismail Marzuki, maka kami memutuskan untuk menaiki bajaj. Senang sekali hati saya mengingat bahwa sudah terlampau lamanya saya tidak menaiki kendaraan yang lucu itu. Namun babaj yang kami naiki belakangan ini bukan yang berwarna merah, melainkan berwarna biru. Saya sampai bergumam “Boleh, nggak, sih, kita me-request warna bajaj yang lain? Pink, misalnya? Atau supaya semakin nyentrik, dilukiskan motif saja pada bajaj tersebut.” Ah, apa pula kamu, Put?! Saya pun turun dari bajaj seraya melihat ke arah jam tangan. Ternyata masih terkejar. Dengan semangat, kami memasuki Taman Ismail Marzuki. Tak peduli alas kaki yang kami kenakan terciprat oleh kotoran yang bersumber dari genangan air hujan.
ASEAN Literary Festival 2014 adalah yang digelar pertama kalinya, lho. Wah, sebagai orang Indonesia, saya patut merasa bangga. Ternyata masyarakat Indonesia ada yang menggerakkan sastra, budaya, dan seni sampai sebegininya; sampai menjadi tuan rumah pertama event kebudayaan se-ASEAN ini. Ya, saya selalu optimis bahwa Indonesia tidak hanya punya budaya korupsi saja. Ada banyak sekali kekayaan yang kita punya, khususnya dalam bidang sastra, budaya, dan seni. Partisipasi dan antusiasme para pendatang di festival kemarin itu adalah salah satu buktinya. Pemuda-pemudi Indonesia tidak malu untuk mengekspos kekayaan Indonesia kepada khalayak internasional di kala citra kita sebagai bangsa Indonesia dianggap miskin oleh orang kita sendiri. Apalagi sastra, budaya, dan seni seringkali dipandang sebelah mata oleh kebanyakan dari kita. Padahal semua itu adalah hal-hal yang membuat Negara kita ini punya identitas.
ASEAN Literary Awards yang pertama ini mengusung tema “Anthems for the Common People”. Tema ini terinspirasi dari “Song of the Grassroots” yang diciptakan oleh seorang penyair dan aktivis berpengaruh, —namun ia diculik dan sampai sekarang masih hilang— Wiji Thukul. Ya, para era Orde Baru, Wiji Thukul dicari oleh otoritas keamanan Indonesia. Sebab ia adalah anak muda yang berani mengekspos dan memerangi ketidakadilan dalam Hak Asasi Manusia dan kebebasan. Ia mengekspresikannya melalui sastra. Maka festival ini juga menjadi sebuah tribute untuk Wiji Thukul.
Sebenarnya festival ini diadakan tiga hari berturut-turut; sejak tanggal 21 sampai dengan 23 Maret 2014. Ada banyak tema diskusi yang bisa dipilih. Namun karena saya dan teman saya baru bisa hadir pada hari terakhir, maka kami mengambil sesi diskusi yang diselenggarakan pada hari Minggu saja. Kami menghadiri sesi diskusi yang bertemakan “Ethnicity, Religion, and Literature” dan “Women and Literature”. Sungguh seru.
Berikut saya akan membagikan sedikit yang saya cerna dari diskusi tersebut. Sebelumnya, saya minta maaf jika ada ketidaktepatan pada apa yang saya simpulkan di bawah ini. Karena diskusi berlangsung dengan menggunakan berbagai bahasa (sebab tak semua pembicara lancar berbahasa Inggris) yang kemudian dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris (bukan bahasa Indonesia). Maka dari itu, saya yang masih sangat awam dalam berbahasa Inggris ini mohon dikoreksi jika terdapat kesalahan. :)
Diskusi 1
Tema: “Ethnicity, Religion, and Literature”
Moderator: Laura Schuurmans
(Penulis dan peneliti yang berasal dari Belanda, namun menetap di Jakarta. Ia berkonsentrasi dalam penanganan konflik. Beberapa di antaranya adalah tentang gap antara dunia muslim dengan dunia barat dan masalah nuklir China dengan negara-negara tetangganya. Untuk Informasi lebih lanjut tentang Laura Schuurmans, silakan kunjungi www.lauraschuurmans.com)
Pembicara:
• Andy Fuller
(Penulis, editor sebuah jurnal kritik, dan peneliti yang berasal dari Belanda ini senang mempelajari tentang urban, budaya populer (sastra dan olahraga), dan pemikiran Islam. Tesisnya untuk meraih gelar PhD menganalisa tentang tulisan Seno Gumira Ajidarma. Informasi lebih lanjut tentang Andy Fuller, silakan kunjungi readingsideways.net)
• Na Ye
(Penulis yang berasal dari etnis minoritas di China; Manchu. Selain menulis banyak puisi, ia juga menjabat sebagai wakil ketua dari Gansu Provincial Writers Association. Ia sudah memenangkan beberapa penghargaan bergengsi.)
Kesimpulan:
• Jika kita bicara tentang kaitan antara etnis, agama, dan sastra di Indonesia, kita tidak bisa kalau tidak mengikutsertakan pembicaraan tentang Islam di dalamnya. Semua yang hadir pada sesi tersebut juga pasti tahu bahwa pembahasan ini adalah pembahasan yang sensitif.
• Bersastra di Indonesia menjadi hal yang sangat kompleks. Penulis harus banyak ‘menyunat’ konteks dari karya mereka agar bisa diterima oleh masyarakat mayoritas. Biasanya yang sering ter-cut adalah tulisan-tulisan yang mengkritik tentang pemerintahan atau politik.
• Pernah ada penulis (Duh, maaf saya lupa namanya. Lebih tepatnya, saya tidak mendengar dengan jelas nama beliau. Hehehehe) yang ketika ia meninggal, ia menyuruh orang-orang untuk membakar semua karya yang diciptakan oleh si penulis itu semasa hidupnya. Hal itu dikarenakan si penulis merasa bahwa semua karya yang ditulisnya bukan yang benar-benar ingin ia tuliskan. Ia ingin menyampaikan yang lain, namun karena dibatasi oleh hal-hal terntu, ia jadi tidak bisa bebas menuliskan apa yang sebenarnya ingin ia tuliskan. Mungkin begitu pulalah nasib para penulis di Indonesia sekarang. Ya, sastra di Indonesia dipersepsikan sebagai sastra yang radikal. Mungkin tulisan kritikan yang ditujukan untuk etnis dan atau agama tertentu sering dikira sebagai hal yang mengacu pada sekularisme. Padahal sebenarnya beberapa di antaranya bertujuan untuk mengajak pembaca agar kembali kepada nilai-nilai kebenaran.
• Banyak tulisan di Indonesia yang tidak terkenal padahal bagus kontennya. Hal itu kadang disebabkan oleh tidak dilakukannya translasi ke dalam bahasa Inggris.
Diskusi 2
Tema: “Women and Literature”
Moderator: Saras Dewi
(Penulis dan aktivis wanita yang baru-baru ini menjabat sebagai kepala departemen filsafat Universitas Indonesia ini adalah juga seorang penyanyi dan penari.)
Pembicara:
• Oka Rusmini
(Penulis puisi, novel, dan cerita pendek ini banyak membahas tentang wanita dalam karya-karyanya. Novelnya sudah ada yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Jerman. Ia sudah sering pula memenangkan penghargaan sastra.)
• Jeongrye Choi
(Penulis puisi asal Korea ini karyanya sudah ada yang ditranslasi ke dalam bahasa Inggris dan Jepang. Selain menulis, ia juga menjadi dosen di Korea University.)
Kesimpulan:
• Kesan pertama Jeongrye Choi saat melihat perempuan-perempuan Indonesia adalah perempuan Indonesia sangat santai pembawaannya; seperti tidak ada yang dipikirkan. Beda dengan perempuan Korea yang terkesan selalu resah, terburu-buru, dan sejenisnya.
• Orang dari Negara lain, terutama Indonesia, melihat perempuan-perempuan Korea sepertinya menyenangkan. Itu yang terepresentasikan oleh K-Pop saja. Padahal perempuan Korea di sana banyak dirundung masalah. Terutama permasalahan ekonomi dan kediktatoran militer.
• Salah satu cara untuk membuat pembacaan puisi jadi tidak monoton adalah dengan impromptu. Misalnya saja dengan menggabungkan ritus rupa, ritus bunyi, dan ritus musik.
• Sastrawan perempuan pada era reformasi sering membahas hal-hal yang dianggap tabu, misalnya seksualitas. Pada dasarnya semua penulis harus bermental baja. Jangan terlalu memikirkan pelabelan dari orang lain. Oka Rusmini tidak peduli jika ia dianggap sebagai feminis, lesbian, atau apa pun karena tulisannya yang sering membahas tentang perempuan. Bagi Oka Rusmini, yang penting para pembaca tercerahkan dengan tulisannya.
• Menurut Oka Rusmini, sastrawan perempuan baru mulai bermunculan pada awal tahun 2000-an. Saat itu penulis perempuan masih belum dihargai karyanya. Karya yang dihasilkan oleh para penulis perempuan sering disebut “Sastra lendir.”
• Industri kapitalis seringkali mengkotak-kotakkan para penulis perempuan, sehingga karya yang laku terjual di pasaran hanyalah karya-karya tertentu.
• Dunia sangat membutuhkan perspektif dari para perempuan. Ketika Oka Rusmini menulis “Pandora” yang isinya tentang tubuh perempuan, ia membahas tentang bagaimana rahim terisi oleh segumpal daging yang semakin membesar, dan sebagainya. Memangnya lelaki bisa menuliskan tentang hal semacam itu? Mungkin bisa, tapi apa yang disampaikan mungkin tidak terlalu sampai ke otak dan hati pembaca. Namun begitu, penulis perempuan bukan berarti harus menulis hanya tentang perempuan saja. It’s not about the women, but it’s about women’s perspectives.
Itulah yang bisa saya sampaikan dari diskusi kemarin. Semoga ada yang bisa diperoleh dari tulisan saya ini. Maaf jika ada kesalahan dalan bentuk apa pun itu. Mohon doa dan dukungannya agar suatu saat nanti saya bisa menghadiri acara-acara serupa bukan lagi sebagai peserta, melainkan sebagai pembicara. Aamiin. :’D
Wassalamu’alaikum. :)
No comments:
Post a Comment