06 August 2016

Haiku: Puisi yang Tak Pernah Selesai?

(Source: terapeak.com)
Halo! Assalamu’alaikum. :)

Haiku. Pernahkah kamu mendengar kata itu? Terasa asing di telinga, namun mungkin bentuknya sering kita jumpai secara tak sadar. Hmm, saya pun baru mengetahuinya belakangan ini.

Berawal dari kunjungan saya ke perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, kemudian saya menemukan buku tebal yang bersampul gambar ruang angkasa. Buku tersebut diberi judul “Starflight” oleh penulisnya. Setelah saya buka lembaran demi lembaran, ternyata buku itu adalah buku cerita bergambar untuk anak. Saya pun berinisiatif meminjamnya untuk diberitahukan kepada adik saya yang bilang kalau cita-citanya ingin menjadi pilot. Saya pikir ia pasti menyukainya karena di dalamnya banyak sekali gambar-gambar yang berkaitan dengan teknologi, langit, dan ruang angkasa.

Benar saja. Ia menyukainya. Namun ia lebih suka untuk melihat-lihat gambarnya saja daripada membaca teksnya lantaran teksnya berbahasa Inggris. Hehehe.

Saya pun tak mau kalah. Saya turut membacanya sampai kemudian saya menemukan beberapa halaman unik yang bertemakan alam. Ketika saya memperhatikan teks di halaman-halaman tersebut, barulah saya mengetahui bahwa ternyata teks tersebut berbentuk puisi. Di atas halaman, terdapat tulisan “Haiku”. Sontak saya langsung saja berselancar di Google untuk mengetahui apa itu “Haiku”. Dan… Semakin saya menemukan jawaban, semakin tertarik pula saya untuk mencari tahu lebih banyak tentangnya. Sekarang, saya akan membagikan sedikit yang saya tangkap dari hasil pembelajaran iseng saya tentang Haiku. 

Haiku? Itu Apa, Sih?

Haiku adalah salah satu jenis puisi Jepang yang terpendek dan memiliki 17 suku kata dengan pola 5-7-5. Haiku juga memiliki ciri khas tersendiri yaitu adanya kata-kata yang menunjukkan tentang musim tertentu (kigo). Pola 5-7-5 dan kigo pada haiku merupakan aturan baku yang biasa pula disebut dengan aturan teikei.

Haiku berasal dari permainan haikai no renga yang merupakan permainan saling berbalas puisi atau pantun. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada mulanya haiku tersebar melalui budaya lisan, untuk kemudian barulah diadaptasikan ke budaya tulis-menulis. Pada abad ke-17, haiku identik dengan bait pertama dalam permainan haikai no renga. Namun pada abad ke-19, haiku didefinisikan menjadi lebih umum, yaitu bait berapapun dalam permainan haikai no renga. Haiku menjadi sangat popular di Jepang pada masa itu karena meski singkat dan sederhana, haiku dapat mengekspresikan perasaan orang-orang Jepang dengan sangat mendalam. Namun haiku tak hanya berkembang di Jepang, lho. Melainkan di seluruh dunia. Waaah! Menarik, bukan?

Berikut ini adalah haiku yang saya temukan secara tak sengaja di dalam buku “Starflight”. Pada halaman ini, terdapat dua buah haiku. Haiku yang pertama ialah haiku buatan Basho yang memang sudah terkenal sebagai “Bapak Haiku Sedunia”, sedangkan haiku kedua ditulis oleh Chiyo. Haiku-haiku tersebut pada mulanya berbahasa Jepang, namun sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Harry Behn. 

(Source: dokumentasi pribadi)

Fotonya memang agak blur, namun ketika di-zoom, kamu akan bisa dengan mudah membacanya, kok. Hehehe.

Well, jika saya tidak merasakan apa-apa saat membacanya, kita tak akan sampai sejauh ini. Saya tak akan mencari tahu lebih dalam lagi tentang haiku. Namun nyatanya, kedua haiku di atas menggugah rasa penasaran saya. Saya bergumam dalam hati, “Lho, ini pendek banget tapi, kok, gimanaaa gitu…” Seakan saya bisa merasakan apa yang penyair rasakan detik itu juga saat ia mengindra pengalaman yang ia tuliskan hanya dengan 17 suku kata tersebut. :')

Pola 5-7-5? Haruskah?

Haiku pada dasarnya memiliki pola 5-7-5. Bahkan ada sebagian literatur yang menjelaskan bahwa pola 5-7-5 ialah pola wajib yang harus ada pada sebuah haiku. Namun seiring perkembangan zaman, pola 5-7-5 ini sudah tidak lagi bersifat kaku. Ada beberapa penyair haiku yang membuat haiku dengan pola berbeda. Haiku yang tetap memiliki 17 suku kata namun polanya bukan 5-7-5 disebut dengan kumatagari. Terdapat pula haiku yang lebih menyimpang, yaitu haiku yang tidak berpola 5-7-5 dan tidak pula memiliki 17 suku kata. Haiku yang memiliki kurang dari 17 suku kata biasa disebut dengan ji tarasu, sedangkan haiku yang memiliki lebih dari 17 suku kata biasa disebut dengan ji amari. Semua itu adalah jenis penyimpangan haiku. Namun lambat laun penyimpangan tersebut dianggap lumrah dan haiku yang menyimpang tetap disebut dengan haiku.

(Source: haikustockphoto.tumblr.com)

Sebenarnya bagaimana, sih, pola 5-7-5 itu diterapkan? Beginilah contohnya, kawan. Haiku ini merupakan haiku ciptaan Basho.

静さや 花なき庭の 春の雨
Shizukasa ya /  hanasaki niwa no /  haru no ame
(5)                              (7)                              (5)
Betapa sunyinya, halaman berbunga, hujan musim semi

Seperti itulah penerapan pola 5-7-5 dalam haiku. Penerapan pola 5-7-5 dalam haiku sempat membuat bingung para penyair pula. Bagaimana jika memang dalam bahasa aslinya haiku memiliki pola 5-7-5, namun setelah ditejemahkan ke dalam bahasa lain polanya menjadi berubah? Hmm, mungkin pertanyaan itulah yang menyebabkan penyimpangan dalam haiku menjadi hal yang lumrah di era modern.

Kigo? Hmm...

Selain pola 5-7-5, komponen lain yang menjadi aturan baku dalam sebuah haiku adalah kigo. Kigo merupakan kata-kata yang menggambarkan keempat musim di Jepang. Fungsi adanya kigo dalam haiku adalah untuk mengetahui pada musim apa haiku tersebut dibuat dan bagaimana perasaan penyairnya. Lalu bagaimana kigo ditempatkan pada sebuah haiku? Berikut adalah contoh haiku ciptaan Issa:

雪とけて村いっぱいの子どもかな
Yukitokete / muraippaino / kodomokana
(5)                    (7)                    (5)
Salju mencair, desa pun penuh dengan anak-anak

Kigo dalam haiku di atas terdapat dalam kata “Yuki tokete” atau “Salju yang mencair”. Dengan adanya kigo tersebut, kita menjadi tahu bahwa haiku di atas menunjukkan awal dari musim semi di mana anak-anak menyambutnya dengan sukacita. Sebagaimana yang telah kita tahu, bahkwa ketika salju mencair, itu tandanya musim semi akan tiba.

Ada Apa dengan Kireji?

Unsur lain yang biasanya terdapat dalam sebuah haiku adalah kireji. Kireji merupakan kata pemotong frase atau bisa dibilang pula kata pemenggal ungkapan. Kireji dalam haiku biasanya berbentuk partikel (joshi) dan kata bantu (jodoshi). Beberapa contoh kireji yang kerap digunakan dalam haiku yaitu kana (かな), keri (けり), mogana (もがな), yo (), ya (), gana (がな), zo (), ikana (いかな), zu (), ji ( ), nu (), tsuranu (つらぬ), ke (), se (), he (), shi (), re (), ikani (いかに) dan ramu (らむ). Namun demikian, keberadaan kireji dalam sebuah haiku tidak sewajib keberadaan pola 5-7-5 dan kigo. Dengan kata lain, kireji boleh tidak ada dalam sebuah haiku karena sifat keberadaannya tidak mutlak.

Senryu: Masihkah Tergolong Haiku?

Seperti yang telah kita ketahui bersama, haiku memiliki serangkaian aturan wajib yang pada mulanya harus ditaati. Namun seiring berkembangnya zaman, aturan-aturan tersebut sudah mulai ditinggalkan secara perlahan. Mulai dari polanya yang sudah tidak lagi 5-7-5, hingga ketiadaan kata yang mengungkapkan tentang musim. Hal ini didukung pula oleh kemunculan tokoh haiku modern yaitu Masaoka Shiki. Shiki berpendapat bahwa aturan gramatikal yang merepotkan akan menghambat kesenangan dalam berekspresi. Kemudian hadirlah aliran haiku baru atau aliran haiku modern yang biasa disebut dengan senryu.

(Haiku modern ini dibuat untuk menggambarkan kondisi perubahan iklim dan diciptakan oleh Gregory C. Johnson pada tahun 2013.)

Senryu tidak hanya berbeda pada aturan gramatikal, namun juga topik atau tema yang diangkat. Haiku tradisional menitikberatkan pada pengalaman indra manusia dalam merasakan fenomena alam, sedangkan haiku modern (senryu) dapat mengekspresikan tentang kehidupan sosial masyarakat, situasi-situasi tertentu yang patut disindir, bahkan pantun jenaka yang bisa membuat kita terbahak-bahak. Hmm, kesannya sangat menyimpang, ya? Namun entah kenapa aliran ini masih dapat dikatakan satu rumpun dengan haiku.

(Haiku modern ini sengaja dibuat agar masyarakat mematuhi rambu-rambu lalu lintas.
Source: New York City Department of Transportation in collaboration with artist John Morse. Autumn 2011.)

Haiga: A Visual Haiku

Hal unik lainnya tentang haiku adalah bahwa ternyata haiku sangat berkaitan dengan seni rupa. Pernyataan saya tersebut dibuktikan dengan adanya haiga yang sudah membudaya sejak dulu hingga sekarang. Apa itu haiga? Haiga berasal dari kombinasi kata “hai” yang berarti puisi dan “ga” yang berarti lukisan. Jadi, singkatnya, haiga merupakan haiku visual atau puisi yang dilukis. Pada tahun 1644-1694, para penyair tradisional sering mengilustrasikan haikunya dengan cat atau tinta dan melukis tiga buah gambar dalam satu media – yang merupakan representasi dari tiga baris pada haiku. 

(Haiga tradisional ini dibuat oleh Kinkoku. Di dalam haiga ini, terdapat gambar penyair Basho disertai dengan haiku ciptaannya. Source: wikipedia.com)

Dalam buku “Haiku Painting”, Leon Zolbrod menjelaskan bahwa haiga memiliki karakteristik yaitu garis lukis yang bebas dan tipis serta apa adanya tanpa penyempurnaan sana-sini. Haiga tradisional harus dapat terlepas dari detail-detail yang tidak perlu. Kemudian Susumi Takiguchi, ketua dari World Haiku Club, menyatakan bahwa kesederhanaan dan ironi adalah sifat esensial dari haiga tradisional. Menurutnya, haiga itu tidak romantis, melainkan sangat apa adanya dan memiliki unsur humor. Hal yang dituangkan dalam haiga tradisional ialah subjek dan objek yang sering kita jumpai dalam keseharian kita.

(Haiga modern ini dinamakan “Rainier Valley Haiku”. Penciptanya adalah Roger Shimomura.)

Tiga komponen dalam haiga tradisional, yaitu lukisan/gambar, haiku, dan kaligrafi dipersatukan dalam sebuah media yang sama bukan untuk saling menjelaskan, melainkan hanya untuk saling melengkapi. Bahkan pada faktanya, terdapat banyak haiga yang ketiga komponen di dalamnya tidak berkaitan sama sekali.

Nah, seperti halnya haiku yang dikategorikan sebagai haiku tradisional dan modern, haiga juga seperti itu, lho. Jika haiga tradisional biasanya berbentuk lukisan, haiga modern dapat terjelma menjadi patung, desain grafis, fotografi, kerajinan tangan, dan lain sebagainya. 

(Haiga modern ini merupakan contoh haiga fotografi.
Source: http://www.haigaonline.com/issue17-1/issue.html) 

Bagaimana Cara Membuat Haiku?

Setelah kita mengetahui sejarah, komponen, dan seluk-beluk haiku, tak ada salahnya jika kita mempelajari juga cara membuat haiku yang baik. Sebenarnya menurut saya, tidak ada pelajaran khusus untuk mengekspresikan perasaan ke dalam bentuk karya seni. Hal yang dibutuhkan adalah kedalaman rasa dan kepekaan diri pada hal-hal yang ada di sekitar. Selanjutnya, biarkan sang pena berlaga mengikuti kehendak hatimu. Jika sudah dibina dengan hati, keindahan jenis apapun bisa tercipta. Namun pada kalimat pertama dalam paragraf ini, saya menyisipkan frasa “yang baik”. Jadi maksudnya, menurut para ahli, sebaiknya kamu membuat haiku dengan cara seperti ini, lho. Jika kamu ingin haiku “yang baik”, sih. Kalau kamu hanya ingin mengekspresikan perasaan tanpa peduli karyamu jadi bagus atau tidak, ya tidak usah diikuti. Gitu aja kok repot. (?) Hehehe.

Pertama, kita harus tahu dulu struktur dan komponen haiku. Di atas, kan, sudah saya singgung tentang itu semua. Jadi, untuk bagian ini, saya sarankan kamu untuk scroll lagi ke atas. Semoga jarinya nggak pegal, yah. Hehehe.

Kedua, tentukanlah topik haiku. Jika kamu ingin membuat haiku tradisional, kamu boleh setia dengan topik tentang alam. Jika kamu lebih tertarik pada haiku kontemporer (senryu), kamu bisa mengambil topik seperti kemanusiaan, dan lain sebagainya. Bagaimana untuk mengetahui topik yang cocok untuk haiku-mu? Hmm, tanyakan pada dirimu sendiri: pada detik ini, apa yang rasanya ingin sekali kamu tunjukkan pada orang lain? Haiku yang baik muncul dari keinginan penyairnya untuk berbicara “Lihat itu!” kepada orang lain dengan cara yang lain pula. Ya, dengan cara membuat haiku.

Ketiga, setelah menentukan topik haiku, belajarlah untuk mendampingkan dua ide. Kita tahu bahwa haiku yang baik dipenggal oleh kireji. Itu berarti terdapat dua ide yang harus saling berdampingan dalam sebuah haiku. Dua ide tersebut ditujukan untuk perbandingan internal – di mana kedalaman perasaan akan lebih terasa lagi saat terdapat dua ide seperti ini. Contoh dari penerapan dua ide yaitu:

how cool the feeling of a wall against the feet — siesta
(terjemahan: alangkah sejuk dinding yang ditempeli kaki — tidur siang)

Nah, terdapat dua ide, bukan? Yaitu sejuknya dinding dan tidur siang. Keduanya saling mendampingi. Jangan lupa cantumkan kireji untuk menyempurnakan penggalan dua ide tersebut! Namun jika tak ingin menggunakan kireji juga tidak masalah.

Keempat, gunakanlah bahasa sensorik. Kamu harus menunjukkan, bukan menjelaskan. Haiku diciptakan untuk menunjukkan apa yang kelima indramu tangkap secara objektif. Jadi, haiku tidak membutukan kata-kata yang menjelaskan interpretasi subjektifmu atau efek dari pengalaman mengindramu, melainkan hanya apa yang dapat ditangkap oleh kelima indramu secara apa adanya. Misalnya, daripada kamu menyebutkan “musim hujan”, lebih baik kamu menulis “banjir di pekarangan”. Dan jangan terlalu klise dan berlebihan karena itu akan mengurangi esensi dari haiku. Cukup tuliskan apa yang kamu lihat dan ingin ekspresikan dalam bahasa paling lazim. Kemudian biarkan pembaca berimajinasi dengan imajinasinya sendiri.

Kelima, berburu inspirasi! Inspirasi itu ada di mana saja. Trust me. Untuk mengoptimalkannya, pergilah keluar untuk berjalan-jalan dengan membawa buku dan alat tulis. Kamu tak akan pernah tahu keajaiban apa yang akan datang sepanjang perjalananmu nanti. Kamu juga disarankan untuk sering-sering membaca buku haiku karangan penyair-penyair yang sudah mendahuluimu. Siapa tahu terdapat hal menarik di dalamnya yang membuatmu semakin tergugah untuk membuat haiku. Lalu, kamu juga dapat bergabung dengan komunitas-kounitas haiku di daerahmu. Dapat ilmu haiku sekaligus dapat teman baru. Menyenangkan, bukan? Ah, pokoknya banyaaak sekali cara untuk mendapatkan inspirasi. Temukan caramu sendiri!

(Source: wikihow.com)

Nah, itu dia beberapa cara (atau lebih tepatnya tips) untuk membuat haiku dengan baik yang saya kutip dari sebuah sumber yang nantinya akan saya lampirkan di akhir tulisan. Jujur saja, secara pribadi, saya mengakui bahwa membuat haiku itu tidak mudah. Apalagi untuk orang amatiran seperti saya yang biasa menulis tulisan panjang dengan pilihan kata yang tak lazim demi kepuasan saya sendiri. Pikir saya, kata-kata yang tak lazim itu punya keunikan tersendiri. Namun setelah belajar sedikit tentang haiku, rasanya saya ingin belajar juga untuk menciptakan karya sastra yang indah namun objektif dan sederhana.

Sejauh ini saya baru belajar melakukan hal itu di Instagram. Saya membuat caption dengan kata-kata yang sederhana dan singkat, tapi tetap nyastra (bukan haiku secara spesifik). Tapi tetap saja, bagi para Instagrammers yang biasa menulis caption kelewat singkat atau bahkan no caption, sih, caption saya seperti cerpen. Hahaha. Biarin. Namanya juga lagi belajar. Cuek aja. :p

Intinya, mari kita belajar haiku bareng-bareng! Haiku… Puisi yang tak pernah selesai lantaran pembacanya dibiarkan melanjutkan sendiri di dalam hatinya. ^^

Alhamdulillah kita telah sampai pada penghujung postingan. (?) Segenap diri saya beristighfar dan memohon untuk dimaklumi jika tulisan ini banyak kekurangan. Itulah mengapa di blog tersedia kolom komentar. Ya kamu tahu sendirilah kenapanya. Hehehe. Saya pamit. Wassalamu’alaikum. :)


----------------------------------------------------------------------------------------
Bacaan:

2 comments:

  1. Alhamdulillah. Terima kasih! 😊

    ReplyDelete
  2. Terimakasih kak, sangat lengkap dan mudah dipahami💕

    ReplyDelete