(Isolated home. Via domain.com.au) |
Hai!
Assalamu’alaikum! :)
Setiap
yang bernyawa pastilah diuji. Sepertinya sudah banyak manusia yang mengetahui
kalimat itu. Namun sayangnya, tidak banyak yang benar-benar memahami maknanya.
Buktinya, saat kita sedang diuji oleh-Nya, kita kerap bersedih terlalu larut
seakan kita tidak percaya bahwa setelah kesulitan pasti ada kemudahan. Meski
begitu, kesedihan dalam bentuk tertentu memang lumrah adanya. Asalkan kesedihan
itu ditunjukkan hanya kepada yang menciptakannya. Sebab apa? Sebab terkadang menampakkan
kesedihan pada manusia (apalagi di media sosial) justru malah menambah rasa
sedih yang kita rasakan.
Saya
pernah mengalami beberapa hal yang akhirnya membuat saya menjadi tidak mudah
mempercayai orang lain dan lebih keras untuk menjaga lisan saya. Pengalaman di
mana saya menceritakan kesedihan saya pada orang lain, kemudian orang tersebut
justru menabur garam di luka saya. Pengalaman itulah yang membuat saya yakin
bahwasanya sebaiknya kita berkeluh kesah hanya kepada Allah saja. Atau jika
ingin berkeluh kesah di depan manusia, pastikan ia adalah orang yang serumah
dengan kita dan bertahun-tahun telah saling mengenal dengan kita, terutama
orangtua.
Pada
akhir bulan Agustus kemarin, saya membaca sebuah buku yang sudah lama sekali
terbit namun tetap populer bahkan hingga sekarang. Bagaimana tidak? Buku
tersebut telah dialihbahasakan ke dalam 29 bahasa karena kemampuannya memikat
banyak pembaca. Selain itu, buku tersebut juga ditulis oleh Syaikh DR. ‘Aidh
al-Qarni yang sudah tidak diragukan lagi keilmuannya. Meski semasa hidup beliau
menemui pro dan kontra, dari mulai dituduh sesat, dipenjara, bahkan hingga
meninggal karena ditembak, namun buku ini tidak kekurangan esensinya sebagai
salah satu buku motivasi islami terbaik sepanjang masa. Buku apa, sih, yang
saya baca di akhir liburan saya? Tepat sekali! Buku itu berjudul “La Tahzan”.
Atau kalau diartikan ke dalam bahasa saya… “Ulah Ceurik”. Hehe. La Tahzan itu
artinya jangan bersedih. :)
Buku
tersebut berisikan hal-hal yang sekiranya dapat menghindari dan/atau
menghentikan kesedihan. Di antaranya seperti mengisi waktu luang dengan
kesibukan, mengambil hikmah dari setiap kejadian, menegakkan salat, dan lain
sebagainya. Pokoknya lengkap selengkap-lengkapnya! Toh, buku ini pun cukup tebal,
yaitu memiliki hampir 600 halaman. Namun dijamin, bab demi bab akan kita lewati
dengan tanpa percuma. Jika kita membacanya dengan khidmat, niscaya kita akan
menjadi manusia yang lebih pandai dalam mengelola kesedihan. Aamiin,
insyaAllah.
(Source: bukoe.com) |
Dari
semua bagian yang saya baca, terdapat satu konsep yang menarik perhatian saya.
Sebab jika didalami, konsep ini agak berseberangan dengan anggapan umum yang
memaknai frasa “cari hiburan” dengan bersenang-senang bersama teman, atau
kegiatan lainnya yang biasa dilakukan kebanyakan orang saat bersedih. Namun
konsep ini terbukti manjur untuk mengobati kesedihan. Konsep apakah itu?
Syaikh
‘Aidh al-Qarni dan sebagian ulama islam lainnya menamai konsep itu dengan
istilah “Uzlah”.
Uzlah
secara harfiah memiliki arti mengasingkan diri. Bukan berarti kamu harus
menjadi bule (orang asing), lho, ya. Hehe. Uzlah menurut beberapa sumber
terdiri dari dua macam, yaitu uzlah munfarid (secara fisik) dan uzlah qalbu
(secara rohani). Uzlah munfarid biasanya diniatkan untuk menghindari hubbud
dunya (terlalu cinta dengan dunia) dan dilakukan dengan cara menjauh atau
menjaga jarak dari orang-orang di keramaian ke suatu tempat yang diyakini dapat
membuat diri pelakunya lebih fokus untuk beribadah. Biasanya, para sufilah yang
menjalankan uzlah munfarid selama hidupnya.
Sedangkan
uzlah qalbu atau yang biasa disebut pula dengan uzlah spiritual ialah uzlah
yang dijalankan dengan tetap membaur di tengah khalayak ramai, namun hatinya
tetap teguh dan tidak terpengaruh oleh ambisi duniawi yang dipengaruhi oleh
sekitarnya. Sejatinya, di zaman ini, uzlah spiritual dinilai lebih baik
daripada uzlah munfarid. Namun tingkat kesulitan uzlah qalbu memang lebih
tinggi. Sebab tentu saja bukan perkara mudah untuk ber-uzlah saat di sekeliling
kita menghendaki yang sebaliknya.
Bahkan
berdasarkan Eksperimen Penjara Standford yang dilakukan oleh seorang psikolog
bernama Philip Zimbardo dalam buku “The Psychology Book” yang saya baca, orang
baik dapat berubah menjadi orang jahat jika ia dikelilingi oleh orang jahat. Ya,
lingkungan sangat berpengaruh pada diri setiap manusia. Dengan mempertimbangkan
hal tersebut, agaknya sesekali uzlah secara fisik juga diperlukan.
(From "The Psychology Book, hlm. 254.) |
Lalu,
apa kaitan uzlah dengan kesedihan? Dalam buku “La Tahzan”, uzlah mulai dibahas
dalam bab “Semoga Rumahmu Membuat Bahagia”. Dalam bab tersebut dituliskan, “mengasingkan
diri yang diajarkan syariat dan sunah Rasul adalah menjauhkan diri dari
kejahatan dan pelakunya, orang-orang yang banyak waktu kosongnya, orang-orang
yang lalai, dan orang-orang yang senang membuat huru-hara. Dengan begitu, jiwa
Anda akan selalu terkendali, hati menjadi tenang dan sejuk, pikiran selalu
jernih, dan Anda akan merasa leluasa dan bahagia berada di taman-taman ilmu
pengetahuan.”
Dalam
Shaidul Khathir, Ibnu al-Jauzi telah menuliskan tiga pasal, yang ringkasannya
demikian: "Saya tidak melihat dan mendengar manfaat yang lebih besar
daripada uzlah. Karena uzlah adalah sebuah ketenangan, sebuah keagungan, sebuah
kemuliaan, sebuah tindakan untuk menjauhkan diri dari keburukan dan kejahatan,
sebuah kiat untuk menjaga kehormatan dan waktu, sebuah cara untuk menjaga usia,
sebuah tindakan untuk menjauhkan diri dari orang-orang yang mendengki, sebuah
perenungan tentang akhirat, sebuah persiapan untuk bertemu Allah, sebuah pemusatan
jiwa raga untuk melakukan ketaatan, sebuah pemberdayaan nalar terhadap hal-hal
yang bermanfaat, dan sebuah eksplorasi terhadap nilai dan hukum dari nash-nash
yang ada."
MasyaAllah,
betapa bermanfaat! Eits, akan tetapi, uzlah tidak boleh disamakan dengan
anti-sosial atau sociopath. (Moso’ calon sarjana sosial anti-sosial, sih? Hehe.
#NtMS). Anggaplah uzlah ini sebagai jeda yang harus dijalani secara kontinyu.
Manusia tentu saja sangat boleh bergaul dan bersilaturahmi, namun hanya untuk
ihwal-ihwal yang positif saja. Di sisi lain, manusia juga perlu untuk
menjauhkan diri dari gelimang duniawi yang dapat membutakan mata hati. Di dalam
uzlah terkandung perenungan, penghayatan, tafakkur, dan tadabbur yang dapat
menjadi tabir untuk menutupi aurat: yakni aurat berupa aurat lisan, kesalahan
melangkah, penyimpangan pikiran, dan kecenderungan jiwa yang jahat. Yang pada
akhirnya akan berdampak pada keceriaan diri. Sebab uzlah telah teruji dapat
menghapus segala kesedihan.
Seperti
apa uzlah diterapkan pada zaman modern ini? Sebelumnya, mari kita sama-sama
bersyukur telah terlahir sebagai muslim. Sebab Islam merupakan agama dengan
tuntunan atau ajaran yang dapat terus relevan dengan perkembangan zaman tanpa
harus diubah-ubah. Segala yang terdapat di dalam Al-quran dan hadits sudah
benar adanya, dan dapat diterapkan dahulu, kini, hingga nanti. Uzlah pada zaman
ini mungkin dapat dilakukan dengan cara mengurangi intensitas pertemuan dengan
tujuan yang tidak jelas, memilih serta memilah beberapa teman dekat yang senantiasa
mengajak pada kebaikan, tidak terlalu sering online atau bila perlu
menonaktifkan akun-akun media sosial yang kurang penting, dan lain sebagainya.
See?
Uzlah tidak harus dilakukan dengan menyendiri di dalam gua, bukan? Uzlah dapat
dilakukan di mana saja, terutama di rumah kita. Sebab menurut saya, “rumah”
tidak merujuk hanya pada tempatnya, namun lebih kepada sesiapa saja yang berada
di dalamnya dan bagaimana mereka membuat kita merasa. “Rumah” ialah sesuatu
yang membuat kita selalu ingin pulang karena di dalamnya terdapat mereka yang
berhasil membuat kita tenang dan nyaman. Kepada siapa manusia akan berpulang
selain kepada keluarga dan Penciptanya? Dengan mengingat filosofi “rumah untuk
pulang” yang saya gagaskan, semoga kita semua semakin tersadar bahwa pintu yang
selalu terbuka untuk kesedihan kita adalah pintu keluarga dan Rabb kita.
Sehingga dengan demikian, kita dapat menahan diri untuk tidak menerobos masuk
ke pintu lainnya yang mungkin akan membuat kita terperangkap.
Sekian
yang dapat saya sampaikan. Semoga Allah mengampuni kita semua. Khususnya saya,
yang menuliskan postingan ini. Nah, jangan bersedih lagi, ya! Sebab Allah
selalu membersamai kita. Keluarga kita juga. Ayo pulang ke “rumah”!
"Mereka
berkata, bagaimana keadaanmu, kujawab, baik.
Satu
kebutuhan terpenuhi dan yang lainnya tidak.
Jika
kesedihan telah menyesakkan dada,
Semoga
akan datang satu hari dengan bantuan.
Temanku
adalah kucingku, sahabatku adalah buku-buku,
Sedangkan
kekasihku adalah lentera malam."
(Ibnu Faris)
Wassalamu’alaikum.
:)
No comments:
Post a Comment