02 September 2016

Uzlah: “Rumah” untuk Kesedihanmu

(Isolated home. Via domain.com.au)

Hai! Assalamu’alaikum! :)

Setiap yang bernyawa pastilah diuji. Sepertinya sudah banyak manusia yang mengetahui kalimat itu. Namun sayangnya, tidak banyak yang benar-benar memahami maknanya. Buktinya, saat kita sedang diuji oleh-Nya, kita kerap bersedih terlalu larut seakan kita tidak percaya bahwa setelah kesulitan pasti ada kemudahan. Meski begitu, kesedihan dalam bentuk tertentu memang lumrah adanya. Asalkan kesedihan itu ditunjukkan hanya kepada yang menciptakannya. Sebab apa? Sebab terkadang menampakkan kesedihan pada manusia (apalagi di media sosial) justru malah menambah rasa sedih yang kita rasakan.

Saya pernah mengalami beberapa hal yang akhirnya membuat saya menjadi tidak mudah mempercayai orang lain dan lebih keras untuk menjaga lisan saya. Pengalaman di mana saya menceritakan kesedihan saya pada orang lain, kemudian orang tersebut justru menabur garam di luka saya. Pengalaman itulah yang membuat saya yakin bahwasanya sebaiknya kita berkeluh kesah hanya kepada Allah saja. Atau jika ingin berkeluh kesah di depan manusia, pastikan ia adalah orang yang serumah dengan kita dan bertahun-tahun telah saling mengenal dengan kita, terutama orangtua.

Pada akhir bulan Agustus kemarin, saya membaca sebuah buku yang sudah lama sekali terbit namun tetap populer bahkan hingga sekarang. Bagaimana tidak? Buku tersebut telah dialihbahasakan ke dalam 29 bahasa karena kemampuannya memikat banyak pembaca. Selain itu, buku tersebut juga ditulis oleh Syaikh DR. ‘Aidh al-Qarni yang sudah tidak diragukan lagi keilmuannya. Meski semasa hidup beliau menemui pro dan kontra, dari mulai dituduh sesat, dipenjara, bahkan hingga meninggal karena ditembak, namun buku ini tidak kekurangan esensinya sebagai salah satu buku motivasi islami terbaik sepanjang masa. Buku apa, sih, yang saya baca di akhir liburan saya? Tepat sekali! Buku itu berjudul “La Tahzan”. Atau kalau diartikan ke dalam bahasa saya… “Ulah Ceurik”. Hehe. La Tahzan itu artinya jangan bersedih. :)

Buku tersebut berisikan hal-hal yang sekiranya dapat menghindari dan/atau menghentikan kesedihan. Di antaranya seperti mengisi waktu luang dengan kesibukan, mengambil hikmah dari setiap kejadian, menegakkan salat, dan lain sebagainya. Pokoknya lengkap selengkap-lengkapnya! Toh, buku ini pun cukup tebal, yaitu memiliki hampir 600 halaman. Namun dijamin, bab demi bab akan kita lewati dengan tanpa percuma. Jika kita membacanya dengan khidmat, niscaya kita akan menjadi manusia yang lebih pandai dalam mengelola kesedihan. Aamiin, insyaAllah.

(Source: bukoe.com)

Dari semua bagian yang saya baca, terdapat satu konsep yang menarik perhatian saya. Sebab jika didalami, konsep ini agak berseberangan dengan anggapan umum yang memaknai frasa “cari hiburan” dengan bersenang-senang bersama teman, atau kegiatan lainnya yang biasa dilakukan kebanyakan orang saat bersedih. Namun konsep ini terbukti manjur untuk mengobati kesedihan. Konsep apakah itu?
Syaikh ‘Aidh al-Qarni dan sebagian ulama islam lainnya menamai konsep itu dengan istilah “Uzlah”.

Uzlah secara harfiah memiliki arti mengasingkan diri. Bukan berarti kamu harus menjadi bule (orang asing), lho, ya. Hehe. Uzlah menurut beberapa sumber terdiri dari dua macam, yaitu uzlah munfarid (secara fisik) dan uzlah qalbu (secara rohani). Uzlah munfarid biasanya diniatkan untuk menghindari hubbud dunya (terlalu cinta dengan dunia) dan dilakukan dengan cara menjauh atau menjaga jarak dari orang-orang di keramaian ke suatu tempat yang diyakini dapat membuat diri pelakunya lebih fokus untuk beribadah. Biasanya, para sufilah yang menjalankan uzlah munfarid selama hidupnya.

Sedangkan uzlah qalbu atau yang biasa disebut pula dengan uzlah spiritual ialah uzlah yang dijalankan dengan tetap membaur di tengah khalayak ramai, namun hatinya tetap teguh dan tidak terpengaruh oleh ambisi duniawi yang dipengaruhi oleh sekitarnya. Sejatinya, di zaman ini, uzlah spiritual dinilai lebih baik daripada uzlah munfarid. Namun tingkat kesulitan uzlah qalbu memang lebih tinggi. Sebab tentu saja bukan perkara mudah untuk ber-uzlah saat di sekeliling kita menghendaki yang sebaliknya.

Bahkan berdasarkan Eksperimen Penjara Standford yang dilakukan oleh seorang psikolog bernama Philip Zimbardo dalam buku “The Psychology Book” yang saya baca, orang baik dapat berubah menjadi orang jahat jika ia dikelilingi oleh orang jahat. Ya, lingkungan sangat berpengaruh pada diri setiap manusia. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, agaknya sesekali uzlah secara fisik juga diperlukan.

(From "The Psychology Book, hlm. 254.)

Lalu, apa kaitan uzlah dengan kesedihan? Dalam buku “La Tahzan”, uzlah mulai dibahas dalam bab “Semoga Rumahmu Membuat Bahagia”. Dalam bab tersebut dituliskan, “mengasingkan diri yang diajarkan syariat dan sunah Rasul adalah menjauhkan diri dari kejahatan dan pelakunya, orang-orang yang banyak waktu kosongnya, orang-orang yang lalai, dan orang-orang yang senang membuat huru-hara. Dengan begitu, jiwa Anda akan selalu terkendali, hati menjadi tenang dan sejuk, pikiran selalu jernih, dan Anda akan merasa leluasa dan bahagia berada di taman-taman ilmu pengetahuan.”

Dalam Shaidul Khathir, Ibnu al-Jauzi telah menuliskan tiga pasal, yang ringkasannya demikian: "Saya tidak melihat dan mendengar manfaat yang lebih besar daripada uzlah. Karena uzlah adalah sebuah ketenangan, sebuah keagungan, sebuah kemuliaan, sebuah tindakan untuk menjauhkan diri dari keburukan dan kejahatan, sebuah kiat untuk menjaga kehormatan dan waktu, sebuah cara untuk menjaga usia, sebuah tindakan untuk menjauhkan diri dari orang-orang yang mendengki, sebuah perenungan tentang akhirat, sebuah persiapan untuk bertemu Allah, sebuah pemusatan jiwa raga untuk melakukan ketaatan, sebuah pemberdayaan nalar terhadap hal-hal yang bermanfaat, dan sebuah eksplorasi terhadap nilai dan hukum dari nash-nash yang ada."

MasyaAllah, betapa bermanfaat! Eits, akan tetapi, uzlah tidak boleh disamakan dengan anti-sosial atau sociopath. (Moso’ calon sarjana sosial anti-sosial, sih? Hehe. #NtMS). Anggaplah uzlah ini sebagai jeda yang harus dijalani secara kontinyu. Manusia tentu saja sangat boleh bergaul dan bersilaturahmi, namun hanya untuk ihwal-ihwal yang positif saja. Di sisi lain, manusia juga perlu untuk menjauhkan diri dari gelimang duniawi yang dapat membutakan mata hati. Di dalam uzlah terkandung perenungan, penghayatan, tafakkur, dan tadabbur yang dapat menjadi tabir untuk menutupi aurat: yakni aurat berupa aurat lisan, kesalahan melangkah, penyimpangan pikiran, dan kecenderungan jiwa yang jahat. Yang pada akhirnya akan berdampak pada keceriaan diri. Sebab uzlah telah teruji dapat menghapus segala kesedihan.

Seperti apa uzlah diterapkan pada zaman modern ini? Sebelumnya, mari kita sama-sama bersyukur telah terlahir sebagai muslim. Sebab Islam merupakan agama dengan tuntunan atau ajaran yang dapat terus relevan dengan perkembangan zaman tanpa harus diubah-ubah. Segala yang terdapat di dalam Al-quran dan hadits sudah benar adanya, dan dapat diterapkan dahulu, kini, hingga nanti. Uzlah pada zaman ini mungkin dapat dilakukan dengan cara mengurangi intensitas pertemuan dengan tujuan yang tidak jelas, memilih serta memilah beberapa teman dekat yang senantiasa mengajak pada kebaikan, tidak terlalu sering online atau bila perlu menonaktifkan akun-akun media sosial yang kurang penting, dan lain sebagainya.

See? Uzlah tidak harus dilakukan dengan menyendiri di dalam gua, bukan? Uzlah dapat dilakukan di mana saja, terutama di rumah kita. Sebab menurut saya, “rumah” tidak merujuk hanya pada tempatnya, namun lebih kepada sesiapa saja yang berada di dalamnya dan bagaimana mereka membuat kita merasa. “Rumah” ialah sesuatu yang membuat kita selalu ingin pulang karena di dalamnya terdapat mereka yang berhasil membuat kita tenang dan nyaman. Kepada siapa manusia akan berpulang selain kepada keluarga dan Penciptanya? Dengan mengingat filosofi “rumah untuk pulang” yang saya gagaskan, semoga kita semua semakin tersadar bahwa pintu yang selalu terbuka untuk kesedihan kita adalah pintu keluarga dan Rabb kita. Sehingga dengan demikian, kita dapat menahan diri untuk tidak menerobos masuk ke pintu lainnya yang mungkin akan membuat kita terperangkap.

Sekian yang dapat saya sampaikan. Semoga Allah mengampuni kita semua. Khususnya saya, yang menuliskan postingan ini. Nah, jangan bersedih lagi, ya! Sebab Allah selalu membersamai kita. Keluarga kita juga. Ayo pulang ke “rumah”! 

"Mereka berkata, bagaimana keadaanmu, kujawab, baik.
Satu kebutuhan terpenuhi dan yang lainnya tidak.
Jika kesedihan telah menyesakkan dada,
Semoga akan datang satu hari dengan bantuan.
Temanku adalah kucingku, sahabatku adalah buku-buku,
Sedangkan kekasihku adalah lentera malam."
(Ibnu Faris)


Wassalamu’alaikum. :) 

No comments:

Post a Comment