Assalamu’alaikum,
teman-teman! Bagaimana kabar kalian di akhir bulan September ini? Semoga selalu
dalam keadaan baik, ya! :)
Sabtu, 26 September
2015, saya dengan teman saya yang bernama Khirana pergi menuju ke tempat di
mana sense of belonging saya (masih) bermuara.
Kami berencana untuk menghadiri seminar yang termasuk ke dalam salah satu
rangkaian acara Psychology Summit 2015 yang diselenggarakan oleh BEM Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia. Kami sudah mewacanakannya sejak jauh hari.
Semestinya pada saat itu kami tidak hanya berduaan, tapi juga bersama dengan
salah satu teman kami yang bernama Wina. Namun sayangnya, pada hari H Wina
berhalangan untuk ikut. Akhirnya saya dan Khirana tetap bergegas ke lokasi
dengan menumpangi kereta.
Kami sampai di Fakultas
Psikologi UI sekitar jam 09:10 pagi. Di tiket tertera bahwasanya acara dimulai
pada pukul 09:00. Maka saya dan Khirana mempercepat langkah kaki menuju ke
auditorium gedung H, tempat di mana seminar diadakan. Sesampainya di ruangan,
saya sangat bersyukur lantaran acara memang sudah dimulai, namun belum masuk ke sesi
materi. MC masih melakukan semacam sambutan selamat datang kepada para peserta.
Saya dan Khirana memilih kursi yang berada di atas dan dekat dengan layar di
sudut kanan. Selain karena kursi di bawah dan depan relatif penuh, kejelasan
pandangan mata saya memang dominan ke arah kanan. Walau jauh dari pembicara,
setidaknya saya harus dekat dengan layar.
Seminar yang bertajuk “What
We Can Do to Make a City Worth Living?” secara garis besar membahas tentang
permasalahan di kota, gambaran tentang kota yang ideal, dan solusi-solusi atas
permasalahan tadi dari sudut pandang psikologi. Seminar ini mengulas
keterlibatan ilmu psikologi dalam pembangunan sebuah kota demi mencapai
kesejahteraan bersama. “Kota? Anak HI kan scope-nya
Negara?” Iya, memang. Namun tak ada salahnya juga untuk mengetahui apa yang
terjadi pada skala domestik.
Audiens tidak dibatasi
pada persyaratan “harus dari ranah psikologi” sebab sebenarnya seminar ini bersifat
multidisipliner. Kita bisa tetap menerapkan apa yang pemateri sampaikan walau
lebih banyak menggunakan perspektif psikologi. Karena pada dasarnya psikologi
erat dengan keseharian kita. Saya sendiri kebetulan memang gemar mempelajari
psikologi meski tidak secara formal. (Bahkan saya sering dikira mahasiswi
psikologi dan sastra oleh teman yang belum mengetahui latar belakang saya. Tapi
saya tidak masalah kok dibilang seperti itu. Hehehe.) Seminar tersebut saya
estimasikan dapat membuat saya begitu antusias. Dan ternyata memang demikian.
Seminar dengan tema
menarik tentunya kurang lengkap jika tidak diisi oleh pembicara yang menarik
pula. Ada kalimat yang menyatakan bahwa “Bukan tentang siapa yang berbicara,
tapi tentang apa yang dibicarakannya.” Saya tidak menentang kalimat tersebut
secara utuh. Hanya saja saya pikir kalimat itu bersifat kondisional. Dalam
dunia akademis, adalah penting untuk melihat dulu siapa pembicaranya agar kita bisa
mengetahui sejauh mana kredibilitasnya untuk membicarakan topik tertentu.
Karena ilmu itu harus diverifikasi, bukan ditelan bulat-bulat. Untuk itu, kita
butuh untuk mengenal narasumber yang akan menyampaikan sesuatu kepada kita. Namun
sekali lagi, saya tidak menyatakan bahwa kita hanya boleh mendengar kata ahli
saja. Semua itu sesuai tempat dan waktunya.
Beruntungnya saya
menghadiri seminar dalam Psychology Summit 2015 ini. Narasumbernya
dahsyat-dahsyat! Bapak Bambang Rijadi, Ibu Niniek L. Karim, dan… Bapak Ridwan
Kamil!
Bapak Bambang Rijadi
ialah seorang dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang
bekerja di pemerintahan kota Jakarta dan berkontribusi banyak
pada pembangunan kota Jakarta. Salah satu proyek pembangunan kota yang turut
melibatkan Pak Bambang Rijadi ialah pembuatan Banjir Kanal Timur (BKT). Namun
ia tidak pernah mau dipublikasi namanya. Dari pengenalan tersebut saya
terinspirasi untuk meneladani kerendahhatiannya.
Ibu Niniek L. Karim
yang bernama asli Sri Rochani Soesetio. Beliau adalah salah seorang yang
membuktikan kepada saya bahwa aktris berbakat juga mampu menjadi akademisi.
Lulusan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini menjadi dosen di
almamaternya tersebut. Mendengar caranya berbicara, saya semakin berkesimpulan
bahwa ia adalah perempuan berintelejensi tinggi dan sangat mumpuni di bidangnya
(psikologi). Allah, saya ingin seinspiratif beliau.
Ridwan Kamil? Siapa
yang tak kenal dengan beliau? Walikota nyentrik yang telah mentransformasikan
Bandung menjadi kota yang semakin terpandang. Tapi sayangnya beliau berhalangan
hadir. Pada awalnya, saya kecewa dengan keabsenan beliau. Namun seiring
berjalannya seminar, rasa kecewa saya perlahan memudar karena tertebus oleh
materi keren yang dibawakan oleh para pembicara.
Berikut akan saya rangkumkan
materi seminar dalam bentuk poin-poin. Karena saya manusia biasa, mohon
dimaklumi jika ada kesalahan dalam memparafrasekan ucapan para pembicara. Hehehe.
Selamat menyelami makna! :)
Bapak Bambang Rijadi:
- Ibukota terdiri dari dua jenis, yaitu ibukota sebagai pusat pemerintahan dan ibukota sebagai pusat perdagangan. Jakarta adalah ibukota sebagai pusat perdagangan, khususnya perdagangan jasa.
- Pada dasarnya memang kota berbasis jasa, sedangkan kabupaten berbasis agraris.
- Otonomi Jakarta berada pada tingkat provinsi, bukan kota atau kabupaten.
- Jika dilihat pada peta wilayah, laut di Jakarta lebih luas 10 kali lipat daripada daratan Jakarta. Itu artinya ketika perekonomian sudah "mentok", laut bisa dijadikan lahan mata pencaharian. Seharusnya dari sekarang perlu dipikirkan dan dioptimalkan.
- Menurut data statistik, pada tahun 1930, Jakarta didominasi oleh 36% etnis Betawi dan 11% etnis Jawa. Sedangkan pada tahun 2000, justru etnis Jawa mencapai persentase 35% melebihi etnis Betawi yang saat itu hanya 28%. Etnis-etnis lainnya juga menyusul. Itu artinya Jakarta semakin menjadi kota yang multietnis karena banyaknya pendatang.
- Namun fenomena yang terjadi akhir-akhir ini adalah Jakarta hanya menjadi tempat bekerja. Sedangkan orang-orang lebih memilih Bodetabek sebagai tempat tinggal.
- Layanan yang disediakan kota meliputi infrastruktur sosial, infrastruktur ekonomi, dan infrastruktur fisik.
- Ruang publik adalah fasilitas umum yang disediakan pemerintah dan juga pihak privat. Jadi tidak semua fasilitas umum adalah milik pemerintah. Pihak swasta juga berhak untuk membuatnya dengan syarat dan ketentuan dari pemerintah.
- Kenapa permasalahan-permasalahan di kota (kriminal, dan lain sebagainya) bisa terjadi? Singkatnya karena pertumbuhan pelayanan (fasilitas, dan lain-lain) berbanding terbalik dengan pertumbuhan manusia (populasi melesat, meremehkan pendidikan, akhlak merosot, dan lain sebagainya).
- Salah satu upaya agar permasalahan bisa dihilangkan atau minimal dikurangi adalah dengan melibatkan psikolog dalam pembangunan kota dan berfokus pada aspek psikologi dalam membuat peraturan. Karena sesungguhnya kesejahteraan berkaitan erat dengan kondisi psikologis. Jangan hanya berpatok pada hal-hal yang material. Kita juga harus memikirkan tentang sisi normatif dalam mengambil sebuah keputusan.
- Perempuan Jepang bebas sebebas-bebasnya pada saat mereka masih single. Namun setelah menikah, mereka sadar akan tanggung jawabnya. Mereka fokus untuk membentuk anak-anaknya agar menjadi citizen yang baik. Terbukti, masyarakat Jepang tanpa perlu banyak aturan yang mengikat sudah tertib, disiplin, cekatan, dan lain sebagainya dengan sendirinya. Dengan kata lain, peran orangtua khususnya ibu sangat menentukan bagaimana anak-anaknya akan bersikap. Dan sikap anak-anak yang kelak akan menjadi dewasa itu pun berpengaruh pada lingkungan atau kotanya. Antara lingkungan dan manusia memang memiliki hubungan yang timbal balik. Manusia dapat mempengaruhi lingkungan, dan lingkungan dapat mempengaruhi manusia pula. Jadi mudahnya dapat dikatakan kota yang baik menunjukkan perilaku masyarakatnya yang baik. Begitupun sebaliknya.
- Solusi dari permasalahan di kota yaitu berkutat pada 3 hal: perilaku, regulasi, dan edukasi. Di sinilah peran kita dibutuhkan. Kita harus memfasilitasi warga kota kita untuk menyepakati perilaku apa saja yang boleh atau tidak boleh dilakukan di ruang publik. Kita juga harus menyumbangkan ide kita kepada pemerintahan kota dalam rangka pembangunan kota. Selain itu, kita harus terlibat dalam mengedukasi seluruh lapisan masyarakat tentang bagaimana menciptakan kota yang layak untuk ditinggali. Jika ingin optimal, tak mengapa untuk 5 tahun ke depan fokus membenahi satu perilaku terlebih dahulu. Misalnya tahun ini kita dan seluruh lapisan masyarakat menyepakati bahwa buang sampah sembarangan itu tidak boleh. Maka kita harus memprakarsai program kerja yang poin-poinnya mendukung tercapainya tujuan “tidak buang sampah sembarangan” yang nantinya dilaksanakan pemerintah.
Pemandangan Psychology Summit 2015 dari kursi saya... |
Ibu Niniek L. Karim:
- Sebelum masuk ke pembahasan, Bu Niniek meminta seisi ruangan untuk sama-sama menyanyikan lagu anak-anak berjudul “Desaku” karya Ibu Sud. Namun kata “Desaku” diganti dengan “Kotaku”. Saya yang memang lebih hafal lagu anak-anak zaman dulu daripada lagu dewasa zaman sekarang pun menyanyikannya dengan khidmat. Sebagian ada yang tertawa mungkin karena malu atau tidak tahu lagunya. Namun saya serius menyanyikannya pada saat itu. “Why so serious?” Kawan, hidup ini tidak sebercanda itu. Ibu Niniek meminta kita agar kita merefleksi diri. Apa yang telah kita lakukan untuk tempat tinggal kita agar “Kotaku yang kucinta… Pujaan hatiku…” tidak hanya menjadi sekadar lirik lagu?
- Lalu Ibu Niniek menampilkan gambar-gambar situasi perkotaan yang sangat kontras di slide-nya. Misalnya foto kawasan central business district dengan rumah-rumah yang berserakan di pinggir sungai dengan kondisi yang tak layak tinggal. Saat ditanya apa yang peserta seminar rasakan saat melihat gambar-gambar tesebut, kebanyakan menjawab dengan kata “Miris”. Kemudian Bu Niniek bertanya, “Hanya pada sampai tahap miris? Apa lagi yang kalian lakukan?” Jleb!
- Kaitannya dengan hal itu, kita harus mengenal yang disebut dengan social responsibility dan civility.
- Social responsibility adalah percaya bahwa setiap orang memiliki tanggung jawab sosial untuk melakukan yang terbaik bagi orang lain yang memerlukan. Social responsibility norm adalah norma bahwa kita harus menolong orang lain dan lingkungan yang membutuhkan tanpa mengharap balasan. Social responsibility di kota yaitu keterlibatan moral dan sosial dalam berbagai kejadian dan aktivitas di perkotaan.
- Namun pada saat ini social responsibility nampaknya terdegradasi. Masyarakat jadi cenderung tidak mau melibatkan diri, menolak untuk melakukan kebajikan untuk orang lain, mengabaikan orang lain, dan lain sebagainya baik dalam kondisi darurat, kondisi orang lain sedang butuh bantuan, maupun kondisi sehari-hari.
- Kondisi darurat misalnya pada kasus Kitty Genovese. Kondisi orang lain butuh misalnya ketika ada orang lain yang tak dikenal meminjam HP kita untuk menelpon. Kondisi sehari-hari misalnya sopan santun di tempat umum.
- Kasus Kitty Genovese ialah salah satu kasus yang membuat saya geleng-geleng. Kitty Genovese, seorang gadis asal New York, dikejar oleh penjahat, dianiaya, kemudian dibunuh. Yang janggal dari sini adalah, 38 orang tetangga Kitty menyaksikan kejadian itu dari jendela mereka masing-masing, tapi tidak ada satupun yang berusaha untuk menelpon polisi apalagi untuk turun ke bawah demi membantunya! Astaghfirullah.
- Mengapa degradasi social responsibility bisa terjadi? (1) Bystander apathy. Ini terkait dengan kasus Kitty Genovese. Penelitian Bibb Latane dan John Darley telah membuktikan bahwa semakin banyak jumlah saksi yang menyaksikan orang yang butuh pertolongan, maka semakin sedikit keinginan saksi-saksi tersebut untuk membantu. Karena semua orang berpikir bahwa “Ah, ada yang lain kok. Kenapa harus saya yang tolong?” Saya jadi teringat pengalaman saya saat saya dijambret di sekitar Pasar Baru Bekasi. Saat tas saya terbuka dan barang saya sudah lenyap, barulah ada orang yang memberitahu. Padahal mereka mengakui bahwa mereka menyaksikan kejadiannya dengan jelas, namun mereka tidak menolong atau setidaknya teriak. Pelajaran berharga buat saya, tas ransel harus digemblok di depan jika sedang berada di ruang publik. (2) Social loafing. Social loafing adalah kurang optimalnya manusia dalam berpartisipasi untuk mencapai tujuan. Social loafing inilah yang merupakan bibit dari tumbuh-kembangnya bystander apathy. Misalnya saja dalam diskusi kelompok kita malah asyik main gadget. Di dalam hati kita kira-kira berkata, “Kan ada yang lain.” (3) In-group and out-group bias. Kita membatasi simpati kita pada orang-orang tertentu yang kita rasa sekelompok dengan kita. Misalnya saja kita cenderung untuk membantu orang yang satu etnis dengan kita. (4) Serba “Jaga Privasi”. Misalnya ada seorang istri yang dianiaya suaminya dengan sadis. Atas dalih “menjaga privasi”, kita tidak berupaya untuk menolong atau melaporkannya ke pihak berwajib. Padahal itu sudah masuk ke kasus kriminal. Menjaga privasi kadang menghalangi manusia untuk menolong orang lain. (5) Terlalu skeptis dan unwilling to trust pada sesama manusia. Apalagi terhadap anonim (orang yang tidak dikenal). Masyarakat perkotaan cenderung sulit percaya pada orang lain, bahkan sekalipun orang itu sangat sedang membutuhkan pertolongan. Kadang memang sifat ini perlu dilakukan, namun sebaiknya dalam porsi yang pas. (6) Terlalu mudah percaya pada berita negatif. Ini terkesan berkebalikan dengan yang sebelumnya. Jangan-jangan memang sifat alami manusia lebih mudah mempercayai yang negatif daripada yang positif? Saya belum tahu. Saya belum mencari literatur yang membahas tentang itu. Dalam hal ini, misalnya seseorang mendengar kabar bahwa tingkat kriminalitas di suatu kota sangat tinggi. Oleh karena itu, seseorang menjadi waspada secara berlebihan dan curiga terhadap tiap orang yang ditemui sehingga enggan membantu.
- Masyarakat kota cenderung merespon secara adaptif. Bedanya masyarakat kota dengan desa bukanlah pada kepribadiannya, namun cara merespon sesuatu.
- Selain social responsibility, kita juga harus mengenal apa itu civility. Civility bisa juga dikaitkan dengan citizenship, yaitu aturan mengenai tingkah laku yang dianggap normal dalam sebuah interaksi sosial tertentu. Civility merupakan upaya untuk menumbuhkan iklim yang baik. Civility dapat dipastikan ada pada masyarakat yang benar-benar mengerti akan hak dan kewajibannya.
- Zaman dahulu, pagar rumah hanya sebatas tanaman. Tidak setinggi pagar-pagar rumah zaman sekarang. Karena orang zaman dahulu percaya bahwa Indonesia aman. Ditambah dengan kebiasaan meronda yang dilakukan warga. Jika kita percaya bahwa Indonesia menakutkan, maka menakutkanlah Indonesia itu. Ditambah media yang terus-menerus memberitakan sisi buruk dari Indonesia. Bisa saja berita buruk bukan malah membuat sebagian orang waspada, namun malah mencontoh perbuatan yang disiarkan oleh media itu. Buat kita yang masih berpikir bahwa Indonesia menakutkan, cobalah ganti kanal TV kita.
- Pada dasarnya, jauh di dalam lubuk hati setiap manusia, selalu ada hasrat untuk berbuat baik kepada sesama. Tinggal bagaimana kita memelihara apa yang telah Tuhan selipkan pada nurani kita itu.
Setelah mendengar materi dari kedua pembicara dalam Psychology Summit 2015 tersebut, saya merasa tertampar. Sebab saya adalah salah satu orang yang agak cuek terhadap sekitar saya dengan alasan saya hanya mengurusi hal-hal yang penting bagi saya saja. Namun semakin dewasa usia saya, saya semakin menyadari bahwa hal kecil bagi kita terkadang merupakan hal besar bagi orang lain. Bahkan manusia pun tersandung karena batu yang kecil, bukan yang besar. Semoga dengan adanya seminar ini, semakin banyak insan-insan mulia yang turut membangun kota dengan semangat kebaikan. Aamiin.
Tulisan ini spesial untuk kamu-kamu sekalian yang tidak sempat mengikuti seminar dalam Psychology Summit 2015, wabil khusus Wina, teman saya yang pada hari H malah pulang kampung. ^^ Dan juga untuk siapa saja yang bersedia membacanya. Semoga bermanfaat! Keep spreading the positive vibes!
Akhir kata, wassalamu’alaikum. :)
No comments:
Post a Comment