26 February 2016

My Life as A (Freelance) Writer: Before The Beginning

(Source: blog.migreat.com)

“Kamu kerja? Di mana, Put?”
“Di rumah. Dan di mana aja semau aku.”
“Hah? Gimana maksudnya? Jamnya?”
“Suka-suka aku. Asal nggak lewat deadline.”
“Hahaha serius nih!”
“………”

~~~~~

Halo, assalamu’alaikum!

Lama sekali rasanya saya tidak menulis di blog ini. Saya sibuk? Ah, tidak juga. Selain karena laptop saya rusak dan alhamdulillah saya baru bisa memiliki penggantinya akhir-akhir ini, saya memiliki kegiatan di luar menulis blog yang saya jadikan prioritas. Alhasil, saya jadi tidak menyempatkan diri untuk menulis blog. Saya bukan tipikal orang yang handal dalam multitasking. Saya sangat mudah terdistraksi jika mengerjakan suatu hal di saat hal lain juga harus saya kerjakan. Hmm... Begitulah.

Ngomong-ngomong soal dialog di atas… Itu bukan fiksi! Itu nyata! Bahkan tak cuma satu atau dua orang yang berkata seperti itu. Seakan ketika saya bilang kalau saya kerja di mana saja dan kapan saja semau saya, saya sedang menyampaikan sebuah lelucon. Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada teman-teman yang berkata seperti itu, saya hanya ingin bilang bahwa saya serius. InsyaAllah setelah ini akan saya jelaskan secuil kisah hidup saya yang bisa dibilang belum terlalu penuh pengalaman. Namun tiap detailnya merupakan hal yang berarti bagi saya pribadi. ^^


~~~~~

Sejak saya menyadari bahwa passion saya adalah menulis, tentu saja saya ingin suatu saat nanti saya bisa menghasilkan karya tulis yang lebih baik lagi. Jujur saja, tidak terpikirkan oleh saya hal-hal berbau materi yang akan datang seiring saya menggeluti passion saya. Yang saya tahu hanya satu: lakukan apa yang saya suka dengan sepenuh hati, selebihnya biar Allah yang menunjukkan ada apa di balik sana. Intinya, saya menulis karena memang saya mencintai kegiatan itu. Bukan semata-mata untuk mencari ketenaran apalagi kekayaan.

Seiring berjalannya waktu, semakin banyak hal yang saya lalui. Saya semacam disadarkan bahwa salah satu unsur dalam hal kepenulisan adalah apresiasi. Dan apresiasi itu bentuknya macam-macam. Di kalangan penulis profesional, apresiasi bisa saja berupa uang. Bukan berarti menulis itu dilakukan untuk uang. Seniman sejati pasti tidak rela mensejajarkan karyanya dengan uang. Uang bisa dicari oleh siapapun, tapi ide orisinil yang memukau? Tidak sembarang orang bisa menemukannya, apalagi mengolahnya ke dalam bentuk konkret seperti karya seni. Uang hanya salah satu pembakuan bentuk dari apresiasi masyarakat.

Dari situ pun saya mulai terbuka pikirannya. Saya sangat menyesal selama ini kerap menawar harga dengan penjual barang kerajinan atau menganggap sebuah seni visual terlalu mahal harganya. Kadang juga saya minta digambarkan gratis oleh teman saya yang jago menggambar tanpa berpikir tentang esensi apresiasi yang sebenarnya. Saya pun belajar untuk lebih menghargai karya orang lain. Untuk teman-teman saya yang budiman, ketika seseorang membuatkanmu sebuah karya seni orisinil dalam bentuk apapun tanpa kau minta dan tanpa memungut biaya, sadarilah bahwa itu artinya kau sangat berharga atau berpengaruh baginya. :)

  ~~~~~

Saya bergabung dengan sebuah klub turunan dari Komunitas Pengusaha Kampus, yaitu Komunitas Pengusaha Kampus Writerpreneur (PK Writerpreneur). Saya memang bukan tergolong anggota yang aktif di komunitas para writerpreneur tersebut. Karena sejujurnya saya lebih suka menyimak daripada ikut berbicara jika belum menjadi sebuah keharusan.

Di sana saya belajar banyak hal seputar kepenulisan. Saya baru tahu lho bahwa ternyata penulis juga bisa dikategorikan sebagai pengusaha jika dalam menjual jasa menulisnya diterapkan prinsip-prinsip kewirausahaan. Saya pun menertawai diri saya sendiri. “Berarti selama ini aku writerpreneur dong meski masih abal-abal?” Hehe.

Dulu, saya biasanya hanya membantu teman yang butuh dituliskan ucapan untuk hari spesial orang terkasihnya, mengoreksi tugas bahasa Indonesia atau bahasa Inggris yang berkaitan dengan penulisan, mengedit skripsi tetangga, dan lain sebagainya. Saya sadar saya masih belum terlalu mahir. Namun saya menjadikan semua kepercayaan dari orang lain itu sebagai ladang latihan. Saya masih dibayar dengan ucapan “terima kasih” atau beberapa jenis makanan semisal donat yang berlabel DD. But it was just fine. You know why? Because I love it! I love writing!

~~~~~

Suatu hari, saya melihat sebuah gambar yang di-post oleh sebuah akun resmi di LINE yang sering membahas topik tentang pengembangan diri. Dalam gambar itu terlihat wajah Pak Ridwan Kamil dengan sebuah kalimat di sampingnya. Kalimat itu berbunyi, “Pekerjaan paling menyenangkan di dunia adalah hobi yang dibayar.” Setelah membaca kutipan dari Pak Ridwan Kamil tersebut saya seperti merasa tertampar. Hati saya mulai bergumam, “Gimana ya rasanya nulis dibayar? Hehe.”

Semenjak itu, saya mulai mempelajari dunia kepenulisan dengan lebih dalam dan intens lagi. Saya mulai sedikit-sedikit mencari cara agar tulisan saya tembus di media massa, saya menjadi lebih giat lagi untuk mengikuti berbagai kompetisi menulis, dan lain sebagainya. Tulisan yang saya buat cukup banyak, namun yang tembus dan meraih penghargaan hanyalah beberapa. Dan itu bisa dibilang sangat sedikit.

Begitulah. Yang terlihat oleh sebagian dari kalian mungkin saya mah merem pun tetap bisa menulis. Padahal saya sendiri kadang frustasi, “Duh, mau nulis apa lagi? Semua udah gue tulis tapi nggak ada yang tembus dan menang. Argh...” Kalau nggak percaya, tanya aja Pak Haji! Hehehe. #AditSopoJarwo

(source: merdeka.com)

~~~~~

Sekadar informasi, saya pernah haaampir saja kehilangan semangat menulis. Fase itu saya rasakan ketika laptop saya rusak. Untuk mengerjakan tugas kuliah saja saya harus meminjam laptop teman-teman saya yang tentunya dibatasi waktu karena laptopnya ingin mereka pakai juga. Sedangkan saya adalah orang yang tidak bisa mengerjakan sesuatu dengan ngebut.

Kenapa tidak menulis di warnet? Ah, yang benar saja. Saya punya waktu, ruang, dan aturan khusus untuk menulis. Warnet bukan tempat yang tepat bagi saya.

Kenapa tidak menyervis atau membeli laptop baru? Hehehe. Saya tidak ingin merepotkan orangtua saya untuk menggantikan sesuatu yang telah rusak karena kesalahan saya pribadi.

  ~~~~~

Duh, repot sekali. Mengerjakan tugas kuliah saja susah, bagaimana saya bisa menulis hal di luar tugas kuliah?

Namun saya berusaha untuk tegar diiringi dengan usaha dan doa. Saya pun bernazar, “Jika suatu saat nanti aku punya laptop baru, aku berjanji untuk menjaganya seperti aku menjaga orang yang aku sayang. Dan aku akan menggunakannya untuk menghasilkan sesuatu. Aku ingin memiliki pendapatan dari menulis.”

Sampai akhirnya Allah menjawab doa saya. Saya dibelikan laptop oleh kedua orangtua saya. Padahal di samping itu, saya juga sedang menabung untuk membelinya sendiri. Memang, tabungan saya sepertinya tidak kunjung bertambah. Hehehe.

Meski dengan kurun waktu yang cukup lama, itu tetap tidak mengurangi rasa bersyukur saya. Alhamdulillah. Alhamdulillah. Alhamdulillah. Dan saya akan menjalankan apa yang menjadi nazar saya… InsyaAllah.

  ~~~~~

Alhamdulillah, sampai detik ini, saya sudah hampir 2 bulan menjadi penulis lepas atau writerpreneur. Allah menjawab doa saya lagi dan lagi. Seakan menunjukkan kuasa-Nya seraya memberi pesan bahwa tidak ada yang tidak mungkin bagi-Nya. :') Dan saya tidak main-main saat saya bilang bahwa saya kerja di manapun dan kapanpun semau saya. Hehe.

Bagaimana awal mulanya? Apa saja persyaratannya? Bagaimana kesan dan pesannya? Apa saja hambatannya? Apa saja yang ditulis? Apa saja keuntungannya? Berapa pendapatannya? Blablabla… Simak postingan lanjutannya ya! InsyaAllah akan digarap secepat yang saya bisa. ^^

Terima kasih karena sudah membaca. Ayo bersama-sama menyebarkan virus positif!

Ingatlah bahwa KAMU TIDAK PERLU MENJADI DIRI ORANG LAIN UNTUK MENDAPATKAN APA YANG KAMU BUTUHKAN. Do what you love, love what you do. ^^ #selfreminder


Wassalamu’alaikum…

2 comments:

  1. I'm awaiting the next post, Kak Uti. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thank you for reading, Nyun! InsyaAllah, the next one will be published soon. ^^

      Delete