(Source: blog.migreat.com) |
“Kamu kerja? Di
mana, Put?”
“Di rumah. Dan
di mana aja semau aku.”
“Hah? Gimana
maksudnya? Jamnya?”
“Suka-suka aku.
Asal nggak lewat deadline.”
“Hahaha serius
nih!”
“………”
~~~~~
Halo, assalamu’alaikum!
Lama sekali rasanya
saya tidak menulis di blog ini. Saya sibuk? Ah, tidak juga. Selain karena
laptop saya rusak dan alhamdulillah saya baru bisa memiliki penggantinya
akhir-akhir ini, saya memiliki kegiatan di luar menulis blog yang saya jadikan prioritas.
Alhasil, saya jadi tidak menyempatkan diri untuk menulis blog. Saya bukan
tipikal orang yang handal dalam multitasking. Saya sangat mudah terdistraksi
jika mengerjakan suatu hal di saat hal lain juga harus saya kerjakan. Hmm...
Begitulah.
Ngomong-ngomong
soal dialog di atas… Itu bukan fiksi! Itu nyata! Bahkan tak cuma satu atau dua
orang yang berkata seperti itu. Seakan ketika saya bilang kalau saya kerja di
mana saja dan kapan saja semau saya, saya sedang menyampaikan sebuah lelucon.
Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada teman-teman yang berkata seperti itu,
saya hanya ingin bilang bahwa saya serius. InsyaAllah setelah ini akan saya
jelaskan secuil kisah hidup saya yang bisa dibilang belum terlalu penuh
pengalaman. Namun tiap detailnya merupakan hal yang berarti bagi saya pribadi. ^^
~~~~~
Sejak saya
menyadari bahwa passion saya adalah menulis, tentu saja saya ingin suatu saat
nanti saya bisa menghasilkan karya tulis yang lebih baik lagi. Jujur saja,
tidak terpikirkan oleh saya hal-hal berbau materi yang akan datang seiring saya
menggeluti passion saya. Yang saya tahu hanya satu: lakukan apa yang saya suka
dengan sepenuh hati, selebihnya biar Allah yang menunjukkan ada apa di balik
sana. Intinya, saya menulis karena memang saya mencintai kegiatan itu. Bukan
semata-mata untuk mencari ketenaran apalagi kekayaan.
Seiring
berjalannya waktu, semakin banyak hal yang saya lalui. Saya semacam disadarkan bahwa
salah satu unsur dalam hal kepenulisan adalah apresiasi. Dan apresiasi itu
bentuknya macam-macam. Di kalangan penulis profesional, apresiasi bisa saja berupa
uang. Bukan berarti menulis itu dilakukan untuk uang. Seniman sejati pasti
tidak rela mensejajarkan karyanya dengan uang. Uang bisa dicari oleh siapapun,
tapi ide orisinil yang memukau? Tidak sembarang orang bisa menemukannya,
apalagi mengolahnya ke dalam bentuk konkret seperti karya seni. Uang hanya salah
satu pembakuan bentuk dari apresiasi masyarakat.
Dari situ pun
saya mulai terbuka pikirannya. Saya sangat menyesal selama ini kerap menawar
harga dengan penjual barang kerajinan atau menganggap sebuah seni visual
terlalu mahal harganya. Kadang juga saya minta digambarkan gratis oleh teman
saya yang jago menggambar tanpa berpikir tentang esensi apresiasi yang
sebenarnya. Saya pun belajar untuk lebih menghargai karya orang lain. Untuk
teman-teman saya yang budiman, ketika seseorang membuatkanmu sebuah karya seni orisinil
dalam bentuk apapun tanpa kau minta dan tanpa memungut biaya, sadarilah bahwa
itu artinya kau sangat berharga atau berpengaruh baginya. :)
~~~~~
Saya bergabung
dengan sebuah klub turunan dari Komunitas Pengusaha Kampus, yaitu Komunitas
Pengusaha Kampus Writerpreneur (PK Writerpreneur). Saya memang bukan tergolong
anggota yang aktif di komunitas para writerpreneur tersebut. Karena sejujurnya
saya lebih suka menyimak daripada ikut berbicara jika belum menjadi sebuah keharusan.
Di sana saya
belajar banyak hal seputar kepenulisan. Saya baru tahu lho bahwa ternyata
penulis juga bisa dikategorikan sebagai pengusaha jika dalam menjual jasa menulisnya
diterapkan prinsip-prinsip kewirausahaan. Saya pun menertawai diri saya
sendiri. “Berarti selama ini aku writerpreneur dong meski masih abal-abal?”
Hehe.
Dulu, saya
biasanya hanya membantu teman yang butuh dituliskan ucapan untuk hari spesial orang
terkasihnya, mengoreksi tugas bahasa Indonesia atau bahasa Inggris yang
berkaitan dengan penulisan, mengedit skripsi tetangga, dan lain sebagainya.
Saya sadar saya masih belum terlalu mahir. Namun saya menjadikan semua
kepercayaan dari orang lain itu sebagai ladang latihan. Saya masih dibayar
dengan ucapan “terima kasih” atau beberapa jenis makanan semisal donat yang
berlabel DD. But it was just fine. You know why? Because I love it! I love
writing!
~~~~~
Suatu hari, saya
melihat sebuah gambar yang di-post oleh sebuah akun resmi di LINE yang sering
membahas topik tentang pengembangan diri. Dalam gambar itu terlihat wajah Pak
Ridwan Kamil dengan sebuah kalimat di sampingnya. Kalimat itu berbunyi, “Pekerjaan
paling menyenangkan di dunia adalah hobi yang dibayar.” Setelah membaca kutipan
dari Pak Ridwan Kamil tersebut saya seperti merasa tertampar. Hati saya mulai bergumam,
“Gimana ya rasanya nulis dibayar? Hehe.”
Semenjak itu,
saya mulai mempelajari dunia kepenulisan dengan lebih dalam dan intens lagi.
Saya mulai sedikit-sedikit mencari cara agar tulisan saya tembus di media
massa, saya menjadi lebih giat lagi untuk mengikuti berbagai kompetisi menulis,
dan lain sebagainya. Tulisan yang saya buat cukup banyak, namun yang tembus dan
meraih penghargaan hanyalah beberapa. Dan itu bisa dibilang sangat sedikit.
Begitulah. Yang
terlihat oleh sebagian dari kalian mungkin saya mah merem pun tetap bisa
menulis. Padahal saya sendiri kadang frustasi, “Duh, mau nulis apa lagi? Semua
udah gue tulis tapi nggak ada yang tembus dan menang. Argh...” Kalau nggak
percaya, tanya aja Pak Haji! Hehehe. #AditSopoJarwo
(source: merdeka.com) |
~~~~~
Sekadar
informasi, saya pernah haaampir saja kehilangan semangat menulis. Fase itu saya
rasakan ketika laptop saya rusak. Untuk mengerjakan tugas kuliah saja saya
harus meminjam laptop teman-teman saya yang tentunya dibatasi waktu karena
laptopnya ingin mereka pakai juga. Sedangkan saya adalah orang yang tidak bisa mengerjakan
sesuatu dengan ngebut.
Kenapa tidak
menulis di warnet? Ah, yang benar saja. Saya punya waktu, ruang, dan aturan
khusus untuk menulis. Warnet bukan tempat yang tepat bagi saya.
Kenapa tidak
menyervis atau membeli laptop baru? Hehehe. Saya tidak ingin merepotkan
orangtua saya untuk menggantikan sesuatu yang telah rusak karena kesalahan saya
pribadi.
~~~~~
Duh, repot
sekali. Mengerjakan tugas kuliah saja susah, bagaimana saya bisa menulis hal di
luar tugas kuliah?
Namun saya
berusaha untuk tegar diiringi dengan usaha dan doa. Saya pun bernazar, “Jika
suatu saat nanti aku punya laptop baru, aku berjanji untuk menjaganya seperti
aku menjaga orang yang aku sayang. Dan aku akan menggunakannya untuk
menghasilkan sesuatu. Aku ingin memiliki pendapatan dari menulis.”
Sampai akhirnya
Allah menjawab doa saya. Saya dibelikan laptop oleh kedua orangtua saya.
Padahal di samping itu, saya juga sedang menabung untuk membelinya sendiri.
Memang, tabungan saya sepertinya tidak kunjung bertambah. Hehehe.
Meski dengan kurun waktu yang cukup lama, itu
tetap tidak mengurangi rasa bersyukur saya. Alhamdulillah. Alhamdulillah.
Alhamdulillah. Dan saya akan menjalankan apa yang menjadi nazar saya…
InsyaAllah.
~~~~~
Alhamdulillah,
sampai detik ini, saya sudah hampir 2 bulan menjadi penulis lepas atau
writerpreneur. Allah menjawab doa saya lagi dan lagi. Seakan menunjukkan kuasa-Nya seraya memberi pesan bahwa tidak ada yang tidak mungkin bagi-Nya. :') Dan saya tidak main-main saat saya bilang bahwa saya kerja di
manapun dan kapanpun semau saya. Hehe.
Bagaimana awal
mulanya? Apa saja persyaratannya? Bagaimana kesan dan pesannya? Apa saja
hambatannya? Apa saja yang ditulis? Apa saja keuntungannya? Berapa
pendapatannya? Blablabla… Simak postingan lanjutannya ya! InsyaAllah akan digarap secepat yang saya bisa. ^^
Terima kasih karena
sudah membaca. Ayo bersama-sama menyebarkan virus positif!
Ingatlah bahwa
KAMU TIDAK PERLU MENJADI DIRI ORANG LAIN UNTUK MENDAPATKAN APA YANG KAMU
BUTUHKAN. Do what you love, love what you do. ^^ #selfreminder
Wassalamu’alaikum…
I'm awaiting the next post, Kak Uti. :)
ReplyDeleteThank you for reading, Nyun! InsyaAllah, the next one will be published soon. ^^
Delete