28 April 2016

Simposium: Hubungan ASEAN - Tiongkok dalam Sengketa Laut Cina Selatan dan Pulau Natuna

(Pic: apkpure.com)

Halo, assalamu’alaikum! Apa kabar, teman-teman? Jangan tanya balik kabar saya! Kabar saya sedang campur-aduk. Yang pasti, saat ini saya dan teman-teman se-UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sedang menempuh pekan-pekan UTS. Mohon doanya, yaaa! ^^

Hari ini, tanggal 28 April 2016, seperti biasa saya pergi ke kampus untuk berkuliah. Hari ini ada tiga mata kuliah yang harus saya tempuh. Pada hari sebelumnya, saya mendengar kabar tentang adanya simposium hari ini di fakultas saya. Namun setelah saya cek jadwalnya, ternyata berbentrokan dengan jam mata kuliah saya yang kedua, yaitu sekitar pukul 10.00 WIB. Padahal saya sangat tertarik saat mengetahui bahwa tema simposiumnya berkaitan dengan Laut Cina Selatan yang memang sedang hitzzz. Akhirnya saya mengurungkan niat untuk mendatangi simposium karena saya ingin tetap masuk kelas.

Namun ketika di hari-H, atas kuasa Allah, jalan saya untuk mendatangi simposium tersebut semakin terbuka. Saya mendengar dari teman-teman sekelas bahwasanya kuliah jam kedua akan dialihkan ke simposium karena dosen pengajarnya merupakan moderator dalam simposium tersebut. Aaaaa! Ingin teriak rasanya karena saking bahagianya. Hihi. Teringat pula pada hari Senin yang lalu, perkuliahan jam ketiga juga dialihkan ke acara bedah buku tentang Kesaktian Pancasila karena dosen pengajarnya menjadi salah satu pembicara. Kami memang sering mengalami hal seperti ini; perkuliahan dipindahkan ke acara-acara seperti seminar, talkshow, simposium, bedah buku, dan lain-lain.

~~~~~

Akhirnya saya dan teman-teman saya mendatangi aula dengan perasaan sukacita. Perasaan sukacita tersebut semakin bertambah tatkala mengetahui bahwa pembicara-pembicara dalam simposium tersebut masih muda dan memiliki paras yang…..
(Salah fokus. Kata teman-teman saya yang perempuan, lho. Bukan kata saya. :D)

Pembicara dalam simposium ini adalah Pak Ahmad Hanafi Rais selaku wakil ketua Komisi 1 DPR RI (yang sayangnya berhalangan hadir), Kak A. Ibrahim Al Muttaqi selaku kepala program ASEAN Studies di Habibie Centre, dan Kak Muhammad Arif selaku peneliti dari Habibie Centre. Untuk teman-teman yang belum tahu, Habibie Centre adalah sebuah yayasan yang didirikan oleh Pak B. J. Habibie – sang mantan presiden Republik Indonesia ketiga – yang merupakan salah satu sosok yang saya kagumi. Yayasan Habibie Centre melakukan kegiatan-kegiatan seperti seminar, pemberian beasiswa, penobatan Habibie Award, diskusi, dan lain sebagainya yang tidak berlawanan dengan tujuan utama yayasan ini, yaitu untuk memajukan modernisasi dan demokratisasi di Indonesia yang didasarkan pada moralitas dan integritas budaya serta nilai-nilai agama. (Wikipedia)

~~~~~

Omong-omong, sudah tahu, kan, tentang konflik Laut Cina Selatan dan Pulau Natuna? Pasti sering mendengarnya di berita, bukan? Intinya, Laut Cina Selatan diperebutkan oleh Cina dan beberapa negara termasuk negara ASEAN seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Sedangkan konflik Pulau Natuna, merupakan implikasi dari sengketa Laut Cina Selatan yang membawa Indonesia ikut terlibat juga. Selengkapnya, cari saja di Google tentang latar belakang dan dinamika sengketa Laut Cina Selatan dan Pulau Natuna.

Nah, langsung saja saya akan membagikan hal-hal yang saya tangkap dari simposium yang berdurasi dua jam dan berbahasa bilingual tersebut.

(Source: http://instagram.com/sarahhajarm)
~~~~~

Pembicara: A. Ibrahim Al Muttaqi

Tidak semua negara ASEAN mengklaim Laut Cina Selatan. Hanya ada empat negara ASEAN yang mengklaimnya, yaitu Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Hal tersebut dikarenakan kepentingan tiap negara ASEAN terhadap Laut Cina Selatan berbeda satu dengan yang lainnya. Atas dasar itu, Cina tidak mau jika negara-negara ASEAN yang mengklaim Laut Cina Selatan bernaung di bawah atap ASEAN ketika hendak melakukan penyelesaian sengketa dengan Cina. Cina ingin masing-masing negara yang bersengketa dengannya menghadapi Cina satu-persatu atau secara bilateral.

Di dalam ASEAN sendiri, negara-negara anggotanya bagai membentuk kubu-kubu dalam melihat fenomena sengketa Laut Cina Selatan ini. Kubu pertama dinaungi oleh Indonesia, Thailand, dan Malaysia. Sedangkan kubu kedua diduduki oleh Kamboja, Laos, dan Myanmar. Sementara itu, kubu ketiga ditempati oleh Filipina, Vietnam, dan Brunei Darussalam. Masing-masing kubu mengalami pergesekan kepentingan.

Oleh karena kepentingan masing-masing negara ASEAN terhadap Laut Cina Selatan berbeda, maka cara mereka dalam mendefinisikan kemenangan atas sengketa Laut Cina Selatan juga akan berbeda pula. Kemenangan atas sengketa dapat dipersepsikan sebagai kebebasan navigasi, hak untuk mengeksplorasi, hak untuk menangkap ikan, hak untuk mengolah perairan, hak untuk mengeksploitasi pulau, hak untuk mereklamasi pulau, dan lain sebagainya.

Bagi Indonesia, kemenangan atas sengketa ini dapat dipersepsikan sebagai kemenangan untuk mempertahankan kesatuan dan persatuan, mengurangi illegal fishing, dan lain sebagainya. Namun dalam memenangkan atau menyelesaikan sengketa Laut Cina Selatan dan Natuna, terdapat hambatan yang dihadapi. Hambatan yang dihadapi oleh Indonesia berasal dari tidak terkoordinasinya respon Indonesia terhadap sengketa Laut Cina Selatan dan Pulau Natuna. Sehingga Indonesia seringkali dianggap tidak responsif atau bahkan tidak tegas dalam merespon sengketa tersebut.

Sebenarnya kita semua masih bertanya-tanya, sebenarnya sengketa Laut Cina Selatan ialah sengketa apa? Apakah yang bersengketa ialah angkatan laut atau sengketa pemerintah? Apakah sengketa ini menyengketakan perikanan atau ancaman terhadap kedaulatan? Aoakah sengketa ini sengketa internasional atau regional?

~~~~~

Pembicara: M. Arif

Berdasarkan data statistik, pada tahun 2016 sampai tahun 2050 nanti, permintaan impor minyak akan semakin tinggi. Untuk mengimpor minyak dari negara-negara penghasilnya, banyak negara importir yang menggunakan Laut Cina Selatan sebagai jalur transportasi kapal-kapal pengangkut minyak. Selain itu, Laut Cina Selatan juga diprediksi memiliki banyak cadangan energi yang menunggu untuk dieksplorasi. Oleh karena itu, semua negara di dunia harus memastikan bahwa jalur energi ini aman dan terhindar dari berbagai ancaman.

Dalam melihat fenomena sengketa Laut Cina Selatan ini, kita dapat menggunakan dua kacamata teoritis yang sekiranya paling cocok untuk digunakan yaitu logika realis dan logika liberalis/konstruktivis. Dari kacamata realisme, sengketa Laut Cina Selatan dilihat sebagai upaya Cina untuk menciptakan hegemoni regional. Cina ingin menjadi negara terkuat di regional Asia. Cina ingin mengklaim, “Ini daerah kekuasaan kami!” Selain itu pula, Amerika Serikat ingin mempertahankan status-quo. Sedangkan negara-negara kecil yang bersengketa akan terus meningkatkan kapasitas militer mereka.

Sedangkan jika kita memandang sengketa Laut Cina Selatan dari sudut pandang kaum liberalis atau konstruktivis, maka kita akan melihat sengketa ini sebagai upaya Cina untuk meningkatkan perdagangan, interdependensi, dan hubungan multilateralnya. Kemungkinan besar juga, dengan mengklaim sleuruh wilayah Laut Cina Selatan, Cina ingin membentuk norma atau ide baru di Asia atau bahkan di dunia.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan terhadap permasalahan Laut Cina Selatan ini? Dari perspektif realisme, kita dapat melakukan perimbangan kekuatan di Laut Cina Selatan dengan cara meningkatkan Cost Aggressive Cina, yang maksudnya adalah mempersulit Cina dengan serangkaian peraturan yang mahal jika Cina hendak meningkatkan kapasitas militernya serta berani menggertak Cina bahwa itu bukan kawasannya. Lalu, bisa juga dengan meningkatkan perdagangan antara negara-negara ASEAN. Hal ini dimaksudkan agar negara-negara ASEAN tidak bergantung kepada Cina dalam hal perdagangan.

Kemudian kita bisa meningkatkan kehadiran Amerika Serikat dalam sengketa ini. Karena tercatat sampai saat ini hanya kekuatan Amerika Serikat yang mampu menyaingi Cina. Ketika terdapat kekuatan yang seimbang, menurut teori realisme, maka justru situasi akan stabil. Namun cara ini memang sangat beresiko dan berpotensi untuk memunculkan permasalahan baru. Selain itu, negara-negara ASEAN dapat melakukan transparansi dan prediksi terhadap kapasitas maritim yang dibangun.

Sedangkan dari pendekatan liberalisme atau konstruktivisme, hal yang dapat dilakukan oleh negara-negara ASEAN adalah menggencarkan interaksi. Menggencarkan interaksi dapat dilalui dengan cara diplomasi trek kedua, melakukan pembangunan percaya diri dalam segala level, dan meningkatkan empati terhadap negara lain serta melakukan antisipasi terhadap respon potensial (kalkulasi strategi).

Untuk sengketa Pulau Natuna, sengketa tersebut telah membuktikan kepada kita semua bahwa dinamika politik domestik dapat sangat berpengaruh terhadap kebijakan luar negeri. Misalnya saja kita melihat dari sisi ideosinkretik para pemimpin Indonesia. Saat Pak SBY menjadi presiden, ia memegang prinsip “thousand friends, zero enemies” yang mana akan berpengaruh pada pengambilan keputusannya. Sedangkan saat ini, presiden Jokowi dirumorkan akan menuntut Cina ke International Court of Justice (ICJ) jika Cina masih mengklaim Natuna ialah miliknya. Ini berarti prinsip pribadi pemimpin berpengaruh pada kebijakan luar negeri yang ia keluarkan.

Apakah belum ada kebijakan untuk menyelesaikan sengketa Laut Cina Selatan dan Natuna ini? Sudah ada, tapi masih dalam bentuk Declaration of Conduct (DOC), dan belum menjadi Code of Conduct (COC) sehigga belum wajib ditaati dan belum ada pemberlakuan sanksi. Belum berubahnya DOC menjadi COC dikarenakan Cina tidak mau menyetujuinya. Lantas, selama ini yang dilakukan oleh negara-negara yang bersengketa dengan Cina hanya sebatas negosiasi tertutup saja yang kebanyakan bersifat bilateral.

Mengapa Indonesia terlibat? Tidak, Indonesia tidak terlibat secara langsung dalam sengketa Laut Cina Selatan. Toh, Indonesia tidak mengklaim Laut Cina Selatan, bukan? Namun Indonesia hadir untuk misi perdamaian dunia. Sebagaimana yang telah kita ketahui, perdamaian dan keamanan dunia itu harus diwujudkan oleh semua negara.

Apakah Indonesia membantu negara-negara ASEAN yang mengklaim Laut Cina Selatan agar memenangkan sengketa ini? ASEAN tidak pernah bercita-cita ingin menjadi seperti Uni Eropa yang merupakan organisasi supranasional yang berhak memiliki sebagian kedaulatan masing-masing negara anggotanya. Jikalau Indonesia membantu sebuah negara untuk memenangkan sengketa ini, itu bukan karena negara tersebut adalah anggota dari ASEAN. Pasti ada kepentingan lain yang hendak didapatkan. Untuk saat ini, Indonesia hanya memiliki kepentingan untuk menjaga stabilitas dan keamanan di Laut Cina Selatan tanpa memihak apalagi membantu salah satu negara anggota ASEAN.

~~~~~

Itulah sedikit yang saya rangkum di buku catatan saya tentang simposium yang saya hadiri pada hari Kamis, 28 April 2016. Semoga bermanfaat untuk kita semua! Oh iya, karena presentasinya berbahasa Inggris dan Indonesia, tolong dikoreksi jika terdapat kesalahan pemahaman agar tulisan ini menjadi lebih komprehensif. Terima kasih.

Ada satu kutipan dari Kak Muhammad Arif yang akan saya jadikan sebuah closing statement dalam tulisan saya yang satu ini…

“Jangan hanya melihat fenomena sengketa Laut Cina Selatan dan Natuna dari apa yang kamu saksikan di TV saja (media)! Tapi cobalah pahami fenomena di sekelilingmu dari kacamata akademis!”

Wassalamu’alaikum… :)

No comments:

Post a Comment