06 November 2016

Mental Indonesia, Mental Tempe?

(Source: flickr.com)

Hai! Assalamu’alaikum semuanya! Bagaimana sejauh ini akhir pekannya? Semoga mengasyikkan! Eits, tapi kurang asyik kalau belum baca blog saya. (?) Heu ^^
Jujur saja, saya sedang kurang enak badan. Mungkin kalau bisa didiagnosis secara pribadi, nama penyakitnya adalah “Mabok Paper Syndrome”. Paper, guys! Paper everywhere~ :’)
Baiklah. Abaikan tentang paper. Sekarang mari kita menghembuskan nafas panjang karena akhirnya saya sempat meng-update blog ini. Alhamdulillah.
Beberapa hari yang lalu (atau beberapa minggu yang lalu, ya?), saya menyempatkan diri untuk mampir sejenak di perpustakaan FISIP UIN Jakarta – yang adem tapi sayang bukunya nggak boleh dipinjem. Saat itu, dosen salah satu mata kuliah saya tidak dapat menghadiri kegiatan perkuliahan. Alhasil, daripada gabut di luar nanti terbawa arus, mending gabut di perpus kali aja nemu yang serius. (?)
Kemudian saya lontang-lantung mencari buku yang sekiranya menarik minat saya. Tadinya saya ingin duduk saja di kursi sambil merebahkan kepala di atas meja. Namun kehendak tubuh berbeda dengan kehendak pikiran. Otak saya maunya istirahat, eh badan saya malah maunya mejeng-mejeng ria di dekat rak buku. Ya sudah, sekalian saja hunting buku. Sudah lama juga saya tidak baca buku. Semenjak pakai smartphone, saya lebih mengandalkan situs-situs tertentu untuk memperoleh informasi. Tapi ya lu bayangin aja. Masa cari jurnal HI di Vonvon atau Hipwee. :’)
Dan… akhirnya saya menemukan sebuah buku yang lumayan bisa membuat saya penasaran. Setelah sedikit dibolak-balik halamannya, rasanya buku ini sudah fix akan saya bawa ke meja.
Sesampainya di meja, saya meminjam earphone salah satu teman saya yang kebetulan memiliki lebih dari satu earphone. Saya curiga, jangan-jangan di balik pakaiannya ia menyembunyikan sepasang telinga yang lain. Jadi, telinganya ada empat atau lebih. Hiii, makhluk astral~
Saat musik mulai mengalun di telinga saya, saat itu pulalah saya mulai tenggelam di dalam buku yang saya baca. Buku apa, sih, memangnya?
Bukunya berjudul “Mozaik Psikologi Politik Indonesia” karangan Prof. Dr. Hamdi Muluk. Jangan tanya kenapa saya tertarik! Kalau kamu kenal saya dengan baik, kamu pasti tahu kalau saya saaangat menyukai dunia psikologi. Apalagi psikologi yang dikombinasikan dengan sastra (psikologi sastra) dan politik (psikologi politik), atau dengan bidang lainnya yang saya sukai. Buku tersebut memiliki beberapa bab dan sub-bab yang cukup membuat saya tak sabar untuk membacanya. Namun dari sekian banyak bab, terdapat satu bab yang ketika saya membacanya, saya seperti tertohok habis-habisan. Bab itu adalah bab yang memaparkan tentang mental orang-orang Indonesia.

~~~

Dalam pembahasan tentang mental orang-orang Indonesia, saya menemukan lebih banyak hal negatif tentang mental kita. Namun entah mengapa saya tidak merasa marah jika saya (yang juga orang Indonesia) digambarkan seperti yang di dalam buku tersebut. Malah rasanya tulisan tersebut semacam self-criticism, atau seolah saya sedang mengkritik diri saya sendiri. Dari buruknya mental orang Indonesia yang dipaparkan dalam buku tersebut, terselip harapan bahwa kita (terutama yang membacanya) harus mengintrospeksi diri agar ingin menjadi bangsa yang lebih maju lagi. Bukankah seharusnya kita bersyukur jika ada orang yang menunjukkan kesalahan kita dengan cara yang baik? Kecuali jika memang kita adalah seorang yang arogan yang merasa diri kita paling benar. Hmm.
Lalu, apakah kalian pernah mendengar istilah “mental tempe”? Dan istilah tersebut seringkali disangkutpautkan dengan mental orang Indonesia. Ckck. Apa itu “mental tempe”? Menurut situs yang berada di posisi teratas pada mesin pencarian saat saya memasukkan keyword, “mental tempe adalah sikap tidak berani menghadapi lawan, artinya lebih cenderung sebagai seorang pengecut, terus kenapa tempe menjadi bahan perendahan kadar kualitasnya, padahal tempe itu kandungan gizinya tinggi.” Okelah. Fokus pada kalimat awalnya saja. -_-
Setujukah kamu jika dianggap demikian? Lalu, bagaimana keterkaitan politik dengan mental masyarakat Indonesia? Begini kata buku yang saya baca:



(Source: bukalapak.com)


Indecisive (Tidak Bisa Mengambil Keputusan)
Mental pertama yang dimiliki oleh orang Indonesia adalah tidak bisa mengambil keputusan, apalagi jika dihadapkan pada pilihan yang besar. Kata lain yang dapat mewakili mental indecisive ini adalah penuh keragu-raguan. Mental ini tidak hanya direpresentasikan oleh negara Indonesia sebagai kesatuan, namun juga masyarakatnya secara individu. Ini berarti bahwa mental ini bisa jadi terdapat pula di dalam diri kita.
Dalam kancah politik, mental ini sudah diwariskan oleh nenek moyang kita terdahulu. Misalnya dalam praktik penentuan blok mana yang ingin dipilih oleh Indonesia: timur (sosialis-komunis) atau barat (liberalis), Indonesia tidak memilih keduanya (yang dalam aplikasinya justru memilih keduanya). Indonesia memilih untuk menjadi negara yang non-blok – yang bagi sebagian awam itu adalah bentuk dari ketegasan. Namun beberapa pengamat menyatakan bahwa dalam praktiknya, Indonesia secara malu-malu menjalankan keduanya (sosialis-komunis dan liberalis) dalam berbagai bidang. Namun Indonesia tidak mau mengakui bahwa non-blok versi Indonesia berarti boleh mengambil yang baik dan membuang yang buruk dari kedua blok yang tersedia – bukannya memiliki gaya sendiri.
Entahlah. Silakan untuk tidak setuju. Ini hanyalah perihal sudut pandang dalam melihat keputusan Indonesia untuk menjadi negara non-blok. Toh, sebagaimana yang kita ketahui, dalam politik, diam pun bisa dihitung sebagai pilihan.

Kemudian apa yang dihasilkan dari mental indecisive ini?
1. tidak pernah atasi kesulitan dengan sungguh-sungguh
2. tidak pernah kalkulasi resiko dan tanggung jawab konsekuensi
3. tidak toleran terhadap perbedaan

Saya tertarik dengan poin ketiga. Saya bertanya-tanya, sebenarnya apa kaitan anara sikap toleran dengan mental ragu-ragu?
Pertanyaan saya ternyata terjawab pula di dalam buku tersebut. Dalam buku tersebut, dinyatakan bahwa seseorang yang bisa mengambil keputusan dengan baik, secara otomatis digambarkan sebagai seseorang yang mengenali berbagai macam pilihan yang harus dipilihnya dengan baik. Misalnya, seseorang harus memilih antara A dengan B. Jika ia pemilih yang baik, ia pasti tahu tentang plus-minus dari kedua pilihan tersebut. Dan ketika sudah memilih salah satunya, ia tidak akan merendahkan pilihan yang tidak ia pilih. Untuk apa? Toh, dia mengetahui bahwa pilihan yang ia pilih punya kekurangan, dan pilihan yang tidak ia pilih pun punya kelebihan. Ini hanyalah tentang pilihan, kok. Dan manusia tidak memiliki legitimasi untuk menyatakan bahwa dirinyalah yang paling baik dan benar.
Pun sebaliknya. Jika seseorang bukanlah pemilih yang baik dan memiliki mental ragu-ragu, ia berpotensi untuk lebih intoleran terhadap pilihan orang lain. Naudzubillah min dzalik.

Split Personality (Kepribadian yang Terbelah)
Kepribadian orang Indonesia senantiasa tak utuh, alias terbelah. Lebih khususnya, kepribadian orang Indonesia terbelah menjadi dua: yaitu private persona dan public persona. Private persona adalah persona atau kepribadian yang hanya ditunjukkan dalam skala yang domestik, misalnya dalam lingkup keluarga. Kemudian ada pula yang disebut dengan public persona yaitu persona atau kepribadian yang ditunjukkan kepada khalayak umum yang cakupannya lebih luas lagi. Sebenarnya memiliki dua persona seperti itu tidak masalah (toh, manusia harus berlaku sesuai sikon, bukan?) asalkan tidak mengalami apa yang disebut dalam buku sebagai schizophrenia sosial.
Schizophrenia sosial adalah sebutan untuk ketidaksinkronan antara pola pikir, perasaan, dan tindakan seorang manusia yang ia lakukan di depan publik padahal hal tersebut sangat berlawanan dengan private persona-nya. Dimisalkan terdapat seseorang yang dikenal bijak, sebut saja Pak RT yang memiliki keluarga harmonis dan mengenali ilmu agama. Namun ketika dihadapkan pada situasi di mana masyarakat lain menghakimi pencuri di daerah sekitarnya, ia memilih untuk menghajar pencuri tersebut hingga babak belur, bukan malah melaporkannya ke polisi. Pun dapat berlaku sebaliknya. Seseorang yang dikenal baik di ranah publik, bisa saja melakukan kekerasan dalam rumah tangganya. Menurut para ahli, begitulah mental orang Indonesia kebanyakan. Kepribadiannya terbelah dalam artian yang negatif.

Un-achieving Society (Tidak Terdorong untuk Berprestasi)
Bangsa yang maju adalah bangsa yang terdorong untuk selalu berprestasi. Saya setuju. Baru-baru ini saya membaca buku karangan Eric Weiner berjudul “The Geography of Genius”, dan  di dalam buku tersebut dipaparkan mengenai bagaimana Yunani dapat menjadi pusat peradaban dunia. Ternyata salah satu penyebab Yunani menjadi sedemikian “beradab”nya adalah masing-masing kota di Yunani ternyata bersaing satu sama lain untuk menjadi yang terbaik. Ah, pokoknya sangat menginspirasi! Mungkin pembahasan lengkapnya akan saya tulis di postingan lain nanti.
Sedangkan menurut berbagai penelitian, mental bangsa Indonesia cenderung tidak kompetitif. Mungkin mental ini juga berkaitan dengan rentetan sejarah kita yang dijajah selama berabad-abad oleh penjajah. Pernah mendengar istilah “mental inlander”? Yap, tepat sekali Mental jajahan! Karena kita sudah terbiasa dijajah, kita menjadi terlalu mudah puas untuk menjadi yang biasa-biasa saja atau bahkan di bawah standar biasa. Kita jadi kurang percaya diri, menganggap negara atau bangsa lain lebih hebat, tidak mampu melihat potensi yang begitu besar pada bangsa ini, untuk kemudian pasrah-pasrah saja jika potensi bangsa diurusi oleh pihak asing.

Sindroma Talangka (Sekalipun Kompetitif, Kompetitif dengan Cara Licik)
Kita semua sepenuhnya menyadari bahwa di samping mental tidak terdorong untuk berprestasi yang menjangkit mayoritas masyarakat Indonesia, ternyata ada pula sebagian manusia yang terdorong untuk berprestasi. Namun sekali lagi sangat disayangkan, cara sebagian dari kita dalam berkompetisi ternyata sangatlah tidak baik atau bahkan dibilang licik. Dalam budaya Filipina, dikenal analogi Sindroma Talangka atau Penyakit Kepiting di mana seseorang yang ingin lebih unggul daripada orang lain akan mencapit kompetitornya seperti halnya kepiting. Tentu saja hal tersebut tidaklah mulia dan hanya berdampak sia-sia. Sebagaimana kepiting yang mencapit kepiting lainnya, ia akan terus-menerus berada di dalam keranjang penjarahnya.
Sindroma Talangka ini dapat dikaitkan pula dengan sesuatu yang oleh Carr (1994) disebut dengan Motivational Gravity atau Gravitasi Motivasional. Pada tingkat rendah, seseorang yang bersaing secara licik akan memasuki fase demotivating atau tidak memotivasi orang. Misalnya, ia memiliki rival, namun ia acuh terhadap rivalnya. Padahal seorang pesaing sejati minimal akan menyunggingkan senyum semangat terhadap pesaingnya yang lain. Atau jika mau berbesar hati, pesaing sejati akan mengucapkan, “Sukses, Bro! Aku padamu!” sambil berpelukan. Heu. Kemudian pada tingkat tinggi, seseorang yang bersaing secara licik akan memasuki fase pull-down motive atau bisa dibilang ia akan menarik seseorang yang sudah sukses di atasnya ke posisi di bawahnya. Menurut saya, ini jahat sekali. Tapi sepertinya sudah biasa terjadi di lingkungan kantor ketika rekan kerja hampir mendapatkan promosinya.  

Confabulation (Mudah Terlena dengan Sesuatu yang Belum Tentu Benar)
Dalam karyanya, Morris Moscovitch (1995) menjelaskan tentang mental confabulation. Masyarakat Indonesia ialah salah satu dari bangsa yang memiliki mental buruk tersebut. Bangsa Indonesia digambarkan gemar membuali diri sendiri dan berpura-pura seolah-olah apa yang kita ingat dan yakini adalah kebenaran mutlak. Pada akhirnya, mental tersebut membuat kita menjadi orang yang nrimo-nrimo wae alias tidak berani mencari sebenar-benarnya kebenaran.


Alienasi Politik (Apatis terhadap Politik)
Yinger (1973) mendefinisikan alienasi politik sebagai kehilangan keterhubungan, kehilangan rasa partisipatif, dan kehilangan kemampuan mengendalikan dalam proses sosial-politik antara para elit dan publik. Mudahnya, kita dapat menyebut bahwa masyarakat Indonesia masih minim pengetahuan tentang politik atau tidak mau mengaku bahwa ia terlibat dalam politik meski tidak secara langsung. Mental ini termasuk ke dalam mental buruk karena menghilangkan rasa percaya antara negara dengan masyarakat.
Saya ialah seorang mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (calon sarjana sosial yang kadang justru kelihatan anti-sosial, belajar politik tapi tidak ikutan organisasi politik manapun, hhh MaDeSu banget nggak sih?). Setiap hari, saya dicekoki teori-teori yang bikin pusing pala Barbie. Namun tahukah kamu, bahkan setelah saya mempelajari politik secara formal, saya berani bilang bahwa politik itu tidak hanya ada di Senayan, politik itu dekat dengan keseharian kita! Bahkan seorang kakak angkatan berkata pada saya, “Politik itu sebenarnya simpel. Politik itu seni atau cara untuk mendapatkan apa yang kita mau.”
Misalnya, saya tahu kamu orangnya tertutup dan pendiam, bahkan terkadang sekilas terlihat di atas kepalamu ada tanduk (dan setelah diteliti lebih dekat, itu bando-bandoan). Namun di balik sifat kamu yang seolah menolak kerjasama dari siapapun tersebut, kamu ialah orang yang jago desain. Nah, sedangkan saya, justru lemah dalam bidang yang menuntut kreativitas seperti itu. Yang saya tahu cuma rumus Wilcoxon. Saya butuh bantuan kamu untuk membuat PPT demi kelancaran presentasi saya pekan depan. Bagaimana cara saya mendekati kamu? Pilihan kata-kata apa yang tepat untuk dapat membujuk kamu? Royalti apa yang dapat saya berikan kepadamu agar kamu mengerjakannya dengan optimal? Dan lain-lain. You know what, that’s politic, dude!
Tapi beribu sayang, kita tidak sepenuhnya menyadari bahwa politik itu ada di keseharian kita sehingga kita cenderung mengabaikannya bahkan hingga kehilangan kepercayaan mengenainya. Misal, kamu tidak setuju jika Rhoma Irama jadi presiden. Tapi kamu tidak memilih kandidat lainnya juga. Kamu bilang, kamu sudah tidak percaya dengan politik Indonesia (kenapa nggak pindah aja, ya?) Kemudian menanglah Bang Rhoma Irama. Kamu bete, kzl, zbl, dan kamu mencak-mencak minta Rhoma Irama diturunkan dari jabatannya? Hmm, terlalu~


(Source: twitter.com)


~~~

Itulah beberapa mental orang Indonesia yang saya dapatkan dari buku “Mozaik Psikologi Politik Indonesia”. Tak heran, bukan, jika pemerintah mengusung program Revolusi Mental? Karena memang ada yang perlu dibenahi dari mental masyarakat kita. (Well, penerapannya efektif atau tidak sudah beda urusan.)
Dan saya di sini, di atas awan (?), termenung meratapi diri saya sendiri yang mentalnya masih seperti yang disebutkan di atas. Doa saya cuma satu: saya tidak mau mewariskan mental negatif yang melekat dalam diri saya kepada anak-anak saya kelak. Jadi solusinya? Cari pasangan yang mau sama-sama berubah menjadi lebih baik demi mencetak generasi yang lebih baik pula! Heu. Jadi ke situ~
Hal yang mesti dilakukan pasca membaca tulisan ini adalah membuktikan bahwa diri kita tidak "setempe" itu. (Tapi btw, salah satu makanan favorit saya adalah sroto mendoan. Apasih.) Sudah siaaap? ^^
Sekian dulu tulisan saya kali ini. Semoga bisa bermanfaat, terlebih untuk diri saya pribadi. Jika ada kata-kata yang kurang berkenan, mohon dimaklumi. Saya hanyalah seorang gadis kecil yang melihat dunia dengan mata telanjang, pikiran liar, dan hati yang bebas – yang  menemukan ketenangan saat saya mencurahkan segalanya dengan cara saya sendiri. Semoga Allah mengampuni kita semua. Aamiin. Wassalamu’alaikum. :)

No comments:

Post a Comment