(Source: flickr.com) |
Hai! Assalamu’alaikum semuanya! Bagaimana sejauh ini
akhir pekannya? Semoga mengasyikkan! Eits, tapi kurang asyik kalau belum baca
blog saya. (?) Heu ^^
Jujur saja, saya sedang kurang enak badan. Mungkin
kalau bisa didiagnosis secara pribadi, nama penyakitnya adalah “Mabok Paper
Syndrome”. Paper, guys! Paper everywhere~ :’)
Baiklah. Abaikan tentang paper. Sekarang mari kita
menghembuskan nafas panjang karena akhirnya saya sempat meng-update blog ini.
Alhamdulillah.
Beberapa hari yang lalu (atau beberapa minggu yang
lalu, ya?), saya menyempatkan diri untuk mampir sejenak di perpustakaan FISIP
UIN Jakarta – yang adem tapi sayang bukunya nggak boleh dipinjem. Saat itu,
dosen salah satu mata kuliah saya tidak dapat menghadiri kegiatan perkuliahan.
Alhasil, daripada gabut di luar nanti terbawa arus, mending gabut di perpus
kali aja nemu yang serius. (?)
Kemudian saya lontang-lantung mencari buku yang
sekiranya menarik minat saya. Tadinya saya ingin duduk saja di kursi sambil
merebahkan kepala di atas meja. Namun kehendak tubuh berbeda dengan kehendak
pikiran. Otak saya maunya istirahat, eh badan saya malah maunya mejeng-mejeng
ria di dekat rak buku. Ya sudah, sekalian saja hunting buku. Sudah lama juga
saya tidak baca buku. Semenjak pakai smartphone, saya lebih mengandalkan
situs-situs tertentu untuk memperoleh informasi. Tapi ya lu bayangin aja. Masa
cari jurnal HI di Vonvon atau Hipwee. :’)
Dan… akhirnya saya menemukan sebuah buku yang
lumayan bisa membuat saya penasaran. Setelah sedikit dibolak-balik halamannya,
rasanya buku ini sudah fix akan saya bawa ke meja.
Sesampainya di meja, saya meminjam earphone salah
satu teman saya yang kebetulan memiliki lebih dari satu earphone. Saya curiga,
jangan-jangan di balik pakaiannya ia menyembunyikan sepasang telinga yang lain.
Jadi, telinganya ada empat atau lebih. Hiii, makhluk astral~
Saat musik mulai mengalun di telinga saya, saat itu
pulalah saya mulai tenggelam di dalam buku yang saya baca. Buku apa, sih,
memangnya?
Bukunya berjudul “Mozaik Psikologi Politik
Indonesia” karangan Prof. Dr. Hamdi Muluk. Jangan tanya kenapa saya tertarik!
Kalau kamu kenal saya dengan baik, kamu pasti tahu kalau saya saaangat menyukai
dunia psikologi. Apalagi psikologi yang dikombinasikan dengan sastra (psikologi
sastra) dan politik (psikologi politik), atau dengan bidang lainnya yang saya
sukai. Buku tersebut memiliki beberapa bab dan sub-bab yang cukup membuat saya
tak sabar untuk membacanya. Namun dari sekian banyak bab, terdapat satu bab
yang ketika saya membacanya, saya seperti tertohok habis-habisan. Bab itu
adalah bab yang memaparkan tentang mental orang-orang Indonesia.
~~~
Dalam pembahasan tentang mental orang-orang
Indonesia, saya menemukan lebih banyak hal negatif tentang mental kita. Namun
entah mengapa saya tidak merasa marah jika saya (yang juga orang Indonesia) digambarkan
seperti yang di dalam buku tersebut. Malah rasanya tulisan tersebut semacam
self-criticism, atau seolah saya sedang mengkritik diri saya sendiri. Dari
buruknya mental orang Indonesia yang dipaparkan dalam buku tersebut, terselip
harapan bahwa kita (terutama yang membacanya) harus mengintrospeksi diri agar
ingin menjadi bangsa yang lebih maju lagi. Bukankah seharusnya kita bersyukur
jika ada orang yang menunjukkan kesalahan kita dengan cara yang baik? Kecuali
jika memang kita adalah seorang yang arogan yang merasa diri kita paling benar.
Hmm.
Lalu, apakah kalian pernah mendengar istilah “mental
tempe”? Dan istilah tersebut seringkali disangkutpautkan dengan mental orang
Indonesia. Ckck. Apa itu “mental tempe”? Menurut situs yang berada di posisi
teratas pada mesin pencarian saat saya memasukkan keyword, “mental tempe adalah
sikap tidak berani menghadapi lawan, artinya lebih cenderung sebagai seorang
pengecut, terus kenapa tempe menjadi bahan perendahan kadar kualitasnya,
padahal tempe itu kandungan gizinya tinggi.” Okelah. Fokus pada kalimat awalnya
saja. -_-
Setujukah kamu jika dianggap demikian? Lalu,
bagaimana keterkaitan politik dengan mental masyarakat Indonesia? Begini kata
buku yang saya baca:
(Source: bukalapak.com) |
Indecisive
(Tidak Bisa Mengambil Keputusan)
Mental pertama yang dimiliki oleh orang Indonesia adalah
tidak bisa mengambil keputusan, apalagi jika dihadapkan pada pilihan yang
besar. Kata lain yang dapat mewakili mental indecisive ini adalah penuh
keragu-raguan. Mental ini tidak hanya direpresentasikan oleh negara Indonesia
sebagai kesatuan, namun juga masyarakatnya secara individu. Ini berarti bahwa
mental ini bisa jadi terdapat pula di dalam diri kita.
Dalam kancah politik, mental ini sudah diwariskan
oleh nenek moyang kita terdahulu. Misalnya dalam praktik penentuan blok mana
yang ingin dipilih oleh Indonesia: timur (sosialis-komunis) atau barat
(liberalis), Indonesia tidak memilih keduanya (yang dalam aplikasinya justru
memilih keduanya). Indonesia memilih untuk menjadi negara yang non-blok – yang bagi
sebagian awam itu adalah bentuk dari ketegasan. Namun beberapa pengamat
menyatakan bahwa dalam praktiknya, Indonesia secara malu-malu menjalankan
keduanya (sosialis-komunis dan liberalis) dalam berbagai bidang. Namun
Indonesia tidak mau mengakui bahwa non-blok versi Indonesia berarti boleh
mengambil yang baik dan membuang yang buruk dari kedua blok yang tersedia – bukannya
memiliki gaya sendiri.
Entahlah. Silakan untuk tidak setuju. Ini hanyalah
perihal sudut pandang dalam melihat keputusan Indonesia untuk menjadi negara
non-blok. Toh, sebagaimana yang kita ketahui, dalam politik, diam pun bisa
dihitung sebagai pilihan.
Kemudian
apa yang dihasilkan dari mental indecisive ini?
1.
tidak pernah atasi kesulitan dengan sungguh-sungguh
2.
tidak pernah kalkulasi resiko dan tanggung jawab konsekuensi
3.
tidak toleran terhadap perbedaan
Saya tertarik dengan poin ketiga. Saya
bertanya-tanya, sebenarnya apa kaitan anara sikap toleran dengan mental
ragu-ragu?
Pertanyaan saya ternyata terjawab pula di dalam buku
tersebut. Dalam buku tersebut, dinyatakan bahwa seseorang yang bisa mengambil
keputusan dengan baik, secara otomatis digambarkan sebagai seseorang yang
mengenali berbagai macam pilihan yang harus dipilihnya dengan baik. Misalnya,
seseorang harus memilih antara A dengan B. Jika ia pemilih yang baik, ia pasti
tahu tentang plus-minus dari kedua pilihan tersebut. Dan ketika sudah memilih
salah satunya, ia tidak akan merendahkan pilihan yang tidak ia pilih. Untuk
apa? Toh, dia mengetahui bahwa pilihan yang ia pilih punya kekurangan, dan
pilihan yang tidak ia pilih pun punya kelebihan. Ini hanyalah tentang pilihan,
kok. Dan manusia tidak memiliki legitimasi untuk menyatakan bahwa dirinyalah
yang paling baik dan benar.
Pun sebaliknya. Jika seseorang bukanlah pemilih yang
baik dan memiliki mental ragu-ragu, ia berpotensi untuk lebih intoleran
terhadap pilihan orang lain. Naudzubillah min dzalik.
Split
Personality (Kepribadian yang Terbelah)
Kepribadian orang Indonesia senantiasa tak utuh,
alias terbelah. Lebih khususnya, kepribadian orang Indonesia terbelah menjadi
dua: yaitu private persona dan public persona. Private persona adalah persona
atau kepribadian yang hanya ditunjukkan dalam skala yang domestik, misalnya
dalam lingkup keluarga. Kemudian ada pula yang disebut dengan public persona
yaitu persona atau kepribadian yang ditunjukkan kepada khalayak umum yang
cakupannya lebih luas lagi. Sebenarnya memiliki dua persona seperti itu tidak
masalah (toh, manusia harus berlaku sesuai sikon, bukan?) asalkan tidak
mengalami apa yang disebut dalam buku sebagai schizophrenia sosial.
Schizophrenia sosial adalah sebutan untuk ketidaksinkronan
antara pola pikir, perasaan, dan tindakan seorang manusia yang ia lakukan di
depan publik padahal hal tersebut sangat berlawanan dengan private persona-nya.
Dimisalkan terdapat seseorang yang dikenal bijak, sebut saja Pak RT yang
memiliki keluarga harmonis dan mengenali ilmu agama. Namun ketika dihadapkan
pada situasi di mana masyarakat lain menghakimi pencuri di daerah sekitarnya,
ia memilih untuk menghajar pencuri tersebut hingga babak belur, bukan malah
melaporkannya ke polisi. Pun dapat berlaku sebaliknya. Seseorang yang dikenal
baik di ranah publik, bisa saja melakukan kekerasan dalam rumah tangganya. Menurut
para ahli, begitulah mental orang Indonesia kebanyakan. Kepribadiannya terbelah
dalam artian yang negatif.
Un-achieving
Society (Tidak Terdorong untuk Berprestasi)
Bangsa yang maju adalah bangsa yang terdorong untuk
selalu berprestasi. Saya setuju. Baru-baru ini saya membaca buku karangan Eric
Weiner berjudul “The Geography of Genius”, dan
di dalam buku tersebut dipaparkan mengenai bagaimana Yunani dapat
menjadi pusat peradaban dunia. Ternyata salah satu penyebab Yunani menjadi
sedemikian “beradab”nya adalah masing-masing kota di Yunani ternyata bersaing
satu sama lain untuk menjadi yang terbaik. Ah, pokoknya sangat menginspirasi!
Mungkin pembahasan lengkapnya akan saya tulis di postingan lain nanti.
Sedangkan menurut berbagai penelitian, mental bangsa
Indonesia cenderung tidak kompetitif. Mungkin mental ini juga berkaitan dengan
rentetan sejarah kita yang dijajah selama berabad-abad oleh penjajah. Pernah
mendengar istilah “mental inlander”? Yap, tepat sekali Mental jajahan! Karena
kita sudah terbiasa dijajah, kita menjadi terlalu mudah puas untuk menjadi yang
biasa-biasa saja atau bahkan di bawah standar biasa. Kita jadi kurang percaya
diri, menganggap negara atau bangsa lain lebih hebat, tidak mampu melihat
potensi yang begitu besar pada bangsa ini, untuk kemudian pasrah-pasrah saja
jika potensi bangsa diurusi oleh pihak asing.
Sindroma
Talangka (Sekalipun Kompetitif, Kompetitif dengan Cara Licik)
Kita semua sepenuhnya menyadari bahwa di samping
mental tidak terdorong untuk berprestasi yang menjangkit mayoritas masyarakat
Indonesia, ternyata ada pula sebagian manusia yang terdorong untuk berprestasi.
Namun sekali lagi sangat disayangkan, cara sebagian dari kita dalam berkompetisi
ternyata sangatlah tidak baik atau bahkan dibilang licik. Dalam budaya
Filipina, dikenal analogi Sindroma Talangka atau Penyakit Kepiting di mana
seseorang yang ingin lebih unggul daripada orang lain akan mencapit
kompetitornya seperti halnya kepiting. Tentu saja hal tersebut tidaklah mulia
dan hanya berdampak sia-sia. Sebagaimana kepiting yang mencapit kepiting
lainnya, ia akan terus-menerus berada di dalam keranjang penjarahnya.
Sindroma Talangka ini dapat dikaitkan pula dengan
sesuatu yang oleh Carr (1994) disebut dengan Motivational Gravity atau
Gravitasi Motivasional. Pada tingkat rendah, seseorang yang bersaing secara
licik akan memasuki fase demotivating atau tidak memotivasi orang. Misalnya, ia
memiliki rival, namun ia acuh terhadap rivalnya. Padahal seorang pesaing sejati
minimal akan menyunggingkan senyum semangat terhadap pesaingnya yang lain. Atau
jika mau berbesar hati, pesaing sejati akan mengucapkan, “Sukses, Bro! Aku
padamu!” sambil berpelukan. Heu. Kemudian pada tingkat tinggi, seseorang yang
bersaing secara licik akan memasuki fase pull-down motive atau bisa dibilang ia
akan menarik seseorang yang sudah sukses di atasnya ke posisi di bawahnya.
Menurut saya, ini jahat sekali. Tapi sepertinya sudah biasa terjadi di
lingkungan kantor ketika rekan kerja hampir mendapatkan promosinya.
Confabulation
(Mudah Terlena dengan Sesuatu yang Belum Tentu Benar)
Dalam karyanya, Morris Moscovitch (1995) menjelaskan
tentang mental confabulation. Masyarakat Indonesia ialah salah satu dari bangsa
yang memiliki mental buruk tersebut. Bangsa Indonesia digambarkan gemar membuali
diri sendiri dan berpura-pura seolah-olah apa yang kita ingat dan yakini adalah
kebenaran mutlak. Pada akhirnya, mental tersebut membuat kita menjadi orang
yang nrimo-nrimo wae alias tidak berani mencari sebenar-benarnya kebenaran.
Alienasi
Politik (Apatis terhadap Politik)
Yinger (1973) mendefinisikan alienasi politik
sebagai kehilangan keterhubungan, kehilangan rasa partisipatif, dan kehilangan kemampuan
mengendalikan dalam proses sosial-politik antara para elit dan publik.
Mudahnya, kita dapat menyebut bahwa masyarakat Indonesia masih minim
pengetahuan tentang politik atau tidak mau mengaku bahwa ia terlibat dalam
politik meski tidak secara langsung. Mental ini termasuk ke dalam mental buruk
karena menghilangkan rasa percaya antara negara dengan masyarakat.
Saya ialah seorang mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik (calon sarjana sosial yang kadang justru kelihatan
anti-sosial, belajar politik tapi tidak ikutan organisasi politik manapun, hhh
MaDeSu banget nggak sih?). Setiap hari, saya dicekoki teori-teori yang bikin
pusing pala Barbie. Namun tahukah kamu, bahkan setelah saya mempelajari politik
secara formal, saya berani bilang bahwa politik itu tidak hanya ada di Senayan,
politik itu dekat dengan keseharian kita! Bahkan seorang kakak angkatan berkata
pada saya, “Politik itu sebenarnya simpel. Politik itu seni atau cara untuk
mendapatkan apa yang kita mau.”
Misalnya, saya tahu kamu orangnya tertutup dan
pendiam, bahkan terkadang sekilas terlihat di atas kepalamu ada tanduk (dan
setelah diteliti lebih dekat, itu bando-bandoan). Namun di balik sifat kamu
yang seolah menolak kerjasama dari siapapun tersebut, kamu ialah orang yang
jago desain. Nah, sedangkan saya, justru lemah dalam bidang yang menuntut
kreativitas seperti itu. Yang saya tahu cuma rumus Wilcoxon. Saya butuh bantuan
kamu untuk membuat PPT demi kelancaran presentasi saya pekan depan. Bagaimana
cara saya mendekati kamu? Pilihan kata-kata apa yang tepat untuk dapat membujuk
kamu? Royalti apa yang dapat saya berikan kepadamu agar kamu mengerjakannya
dengan optimal? Dan lain-lain. You know what, that’s politic, dude!
Tapi beribu sayang, kita tidak sepenuhnya menyadari
bahwa politik itu ada di keseharian kita sehingga kita cenderung mengabaikannya
bahkan hingga kehilangan kepercayaan mengenainya. Misal, kamu tidak setuju jika
Rhoma Irama jadi presiden. Tapi kamu tidak memilih kandidat lainnya juga. Kamu
bilang, kamu sudah tidak percaya dengan politik Indonesia (kenapa nggak pindah aja,
ya?) Kemudian menanglah Bang Rhoma Irama. Kamu bete, kzl, zbl, dan kamu
mencak-mencak minta Rhoma Irama diturunkan dari jabatannya? Hmm, terlalu~
(Source: twitter.com) |
~~~
Itulah beberapa mental orang Indonesia yang saya
dapatkan dari buku “Mozaik Psikologi Politik Indonesia”. Tak heran, bukan, jika
pemerintah mengusung program Revolusi Mental? Karena memang ada yang perlu
dibenahi dari mental masyarakat kita. (Well, penerapannya efektif atau tidak
sudah beda urusan.)
Dan saya di sini, di atas awan (?), termenung meratapi
diri saya sendiri yang mentalnya masih seperti yang disebutkan di atas. Doa
saya cuma satu: saya tidak mau mewariskan mental negatif yang melekat dalam
diri saya kepada anak-anak saya kelak. Jadi solusinya? Cari pasangan yang mau
sama-sama berubah menjadi lebih baik demi mencetak generasi yang lebih baik
pula! Heu. Jadi ke situ~
Hal yang mesti dilakukan pasca membaca tulisan ini adalah membuktikan bahwa diri kita tidak "setempe" itu. (Tapi btw, salah satu makanan favorit saya adalah sroto mendoan. Apasih.) Sudah siaaap? ^^
Sekian dulu tulisan saya kali ini. Semoga bisa
bermanfaat, terlebih untuk diri saya pribadi. Jika ada kata-kata yang kurang
berkenan, mohon dimaklumi. Saya hanyalah seorang gadis kecil yang melihat dunia
dengan mata telanjang, pikiran liar, dan hati yang bebas – yang menemukan ketenangan saat saya mencurahkan
segalanya dengan cara saya sendiri. Semoga Allah mengampuni kita semua. Aamiin.
Wassalamu’alaikum. :)
No comments:
Post a Comment