Hai,
halo! Assalamu’alaikum. ^^
Tak
terasa, ya, sudah tahun 2017 saja. Ngomong-ngomong, bagaimana 2016-mu? Semoga
sesuai dengan yang kamu resolusikan, ya. Kalaupun tidak, tetaplah tersenyum dan
sambut tahun yang baru. Nothing’s ever waste of time, kok. Trust me. ;)
Beberapa
minggu lalu, seorang teman di sebuah Klub Menulis mengirimkan informasi melalui
grup WhatsApp. Informasi tersebut berisi tentang sebuah aplikasi handphone
resmi dari pemerintah Indonesia yang dikhususkan untuk para pembaca buku. Yap,
aplikasi iPusnas. Bisa dibilang bahwa aplikasi tersebut ialah Perpustakaan
Nasional Indonesia versi mobile-friendly. Tak perlu menunggu lama, saya sontak
berselancar di Google Playstore, untuk kemudian mengunduhnya. Dan…………….. saya
pun terperosok ke dalam nuansa yang telah ia ciptakan! Oke, itu lebay.
Maksudnya, secara garis besar, saya menyukai aplikasi iPusnas. Sangat berfaedah
untuk orang semacam saya, yang tidak punya ongkos untuk pergi ke Perpusnas asli
nan jauh di mata (namun dekat di hati). Hehehe.
Alhamdulillah,
keberadaan aplikasi iPusnas membangkitkan lagi semangat membaca buku saya setelah
sekian lama saya keseringan membaca LINE Today. Haha. I mean, tanpa dinafikkan,
terkadang saya malas untuk membaca buku yang benar-benar buku, apalagi jika
buku itu tebal dan tulisannya kecil-kecil. Namun dengan adanya iPusnas, membaca
menjadi lebih simpel dan menyenangkan. Sekarang saya bisa membaca buku di KRL
Commuter Line tanpa kelihatan sok pintar. Orang pasti mengiranya saya sedang
chatting-chattingan sama pacar atau operator seluler, bukan sedang membaca buku.
(?)
Selain
dari segi kepraktisan, iPusnas juga menolong saya saat saya sudah tidak punya
bahan bacaan fisik (buku konvensional). Saya
jadi tidak perlu memakai budget yang saya persiapkan untuk hal lainnya demi
memuaskan hasrat saya terhadap buku. Bahasa mudahnya, iPusnas membuat anggaran
saya lebih irit tanpa memasung kecintaan saya terhadap dunia literasi. Saya
bisa membaca buku elektronik gratis, legal pula! Ingat, LEGAL! Karena iPusnas
ialah aplikasi resmi keluaran pemerintah, maka konten di dalamnya pastilah
sudah lolos berbagai proses untuk dapat dikatakan legal. Sehingga ketika kita
membacanya, kita tidak dihantui oleh rasa bersalah karena telah melanggar
copyright. Lain halnya ketika kita membaca e-book yang bertebaran di Google
yang tidak jelas kejuntrungannya.
Ah,
above all, saya bahagia karena
untuk sementara waktu saya tidak harus pergi ke mall untuk mengunjungi Gramedia. Saya tidak terlalu nyaman berada di tempat ramai. Plus, saya tidak memiliki kecenderungan untuk menjadi seorang pembelanja, kecuali kepepet. But, hey, suatu saat nanti saya pasti dituntut untuk punya skill belanja! Karena belanja itu bukan hanya tentang memenuhi kebutuhan dan mendapatkan keinginan. Lebih dari itu, belanja adalah bagaimana saya berlatih mengambil keputusan, mempraktikkan teori negosiasi, mengatur keuangan, dan lain sebagainya. Dan yang lebih mendalam daripada itu, belanja adalah tentang menakar kebermanfaatan. Sebab belanja itu bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi, belanja bisa membuat kita menganut budaya konsumtif yang berujung pada sifat mubazir yang dibenci Allah. Di sisi lain, ternyata belanja juga dapat memberikan faedah, tidak hanya untuk si pembelanja, tapi juga untuk orang lain.
untuk sementara waktu saya tidak harus pergi ke mall untuk mengunjungi Gramedia. Saya tidak terlalu nyaman berada di tempat ramai. Plus, saya tidak memiliki kecenderungan untuk menjadi seorang pembelanja, kecuali kepepet. But, hey, suatu saat nanti saya pasti dituntut untuk punya skill belanja! Karena belanja itu bukan hanya tentang memenuhi kebutuhan dan mendapatkan keinginan. Lebih dari itu, belanja adalah bagaimana saya berlatih mengambil keputusan, mempraktikkan teori negosiasi, mengatur keuangan, dan lain sebagainya. Dan yang lebih mendalam daripada itu, belanja adalah tentang menakar kebermanfaatan. Sebab belanja itu bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi, belanja bisa membuat kita menganut budaya konsumtif yang berujung pada sifat mubazir yang dibenci Allah. Di sisi lain, ternyata belanja juga dapat memberikan faedah, tidak hanya untuk si pembelanja, tapi juga untuk orang lain.
(instagram.com) |
Setidaknya
itulah yang mungkin disampaikan juga oleh Abi Jiha dalam bukunya yang saya baca
tadi pagi. Oh, ya, jelas, saya membacanya di iPusnas. Hehe. Dalam buku “Fiqih
Shopping: Kiat Belanja Hemat, Cerdas, dan Islami”, Abi Jiha mengemukakan bahwa
belanja itu tidaklah haram. Memang terdapat beberapa mudharat yang mungkin bisa
didapatkan dari kegiatan belanja, namun itu semua bisa dipelajari dan
dihindari. Bahkan menurut Abi Jiha, belanja menyumbangkan berbagai kebaikan,
seperti perekonomian negara menjadi tumbuh, kesejahteraan menyebar, tenaga
kerja terserap, dan lain sebagainya.
Saya
pun kembali teringat pelajaran di mata kuliah Ekonomi Politik Internasional.
Pernah ada pembahasan tentang rebalancing economic growth. Amerika Serikat
merupakan kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Namun saat ini, Amerika Serikat
memiliki saingan, yaitu China. Sebagai dua kekuatan ekonomi, ternyata terdapat
pertumbuhan ekonomi yang tidak simetris antara keduanya. Singkatnya, Amerika
Serikat terlalu konsumtif, sedangkan China selalu menabung. Bagi saya yang
awam, mungkin rajin menabung ala China merupakan teladan yang baik. Namun
setelah dosen saya memberi penjelasan detail tentang itu, saya mencerna sebuah
fakta baru. Aktivitas menabung yang dilakukan oleh masyarakat China secara
berlebihan adalah bentuk ketakutan diri mereka akan tidak adanya jaminan
kesejahteraan di negaranya. Pemerintah China cenderung belum concern terhadap
pelayanan publik, sehingga masyarakat China berpikir bahwa hidup mereka
terancam jika mereka tidak menabung.
Sedangkan
yang terjadi di Amerika Serikat merupakan kebalikannya. Di Amerika Serikat,
segala pelayanan publik tersedia dengan apik. Pemerintah Amerika Serikat pun memudahkan
masyarakatnya untuk berhutang kepada negara. Alhasil, masyarakat Amerika
Serikat menjadi entitas yang berbudaya konsumtif. Menurut para pakar ekonomi,
yang dilakukan oleh China dan Amerika Serikat haruslah diseimbangkan. China
harus meningkatkan belanjanya, sedangkan Amerika Serikat harus lebih menabung.
Hmm, memang yang berlebihan itu tidak baik, ya. Oleh karena itu, sebagai
seorang individu, sebaiknya kita tidak memusuhi belanja, namun tidak juga
menyepelekan menabung. Bisa, nggak, ya? Bisa, jika kita lebih aware terhadap
godaan-godaan yang dapat menutupi rasionalitas kita saat hendak atau sedang
belanja. :)
Godaan
1: Iklan yang Menggunakan Perempuan sebagai Modelnya
Menurut
ahli telekomunikasi, Jalaluddin Rakhmat, iklan kini tak hanya menjual produk,
namun juga menjual nilai atau perspektif. Which means, iklan tidak hanya mampu
membuat kita membeli sebuah produk, namun juga bisa mencuci otak kita tanpa
disadari. Misalnya saja iklan sabun mandi. Model yang muncul dalam iklan
tersebut pastilah perempuan cantik berkulit putih. Sehingga kemudian anggapan
masyarakat sepakat bahwa perempuan yang cantik itu yang berkulit putih. Ketika
sudah terlalu terperdaya, otak tengah kita bisa dengan mudah mempercayai narasi
di iklan tersebut. Kemudian kita kalap mengonsumsinya untuk memenuhi standar
yang iklan itu tanamkan.
Godaan
2: Big Sale
Big
sale sering berujung pada big mistake. Terkadang hanya karena diadakan big
sale, kita menganggap bahwa membeli sebanyak-banyaknya barang merupakan sebuah
keuntungan. Padahal tanpa disadari tidak jarang kita membeli barang yang tidak
betul-betul dibutuhkan. Saya jadi teringat obrolan ringan saya dengan seorang
teman bernama Aelmi Octavia di sebuah supermarket saat kami sedang mencari
bahan-bahan untuk masak bersama (lebih tepatnya, saya dimasakin Aelmi. Haha).
Obrolan tersebut berawal dari curahan hati masing-masing tentang bagaimana
menjadi orang dewasa.
Aelmi:
“Setelah aku dewasa, aku jadi lebih bijak memilih barang yang mau dibelanjakan,
Ti. Aku hanya mau membeli barang yang punya fungsi yang jelas. Aku sudah nggak
tergoda sama printilan-printilun yang lucu-lucu.”
Saya:
“…” (Nyengir saja. Sepertinya saya akan mempertimbangkan ucapannya. Sebab saya
masih tidak bisa menahan godaan aksesoris-aksesoris di etalase Naughty yang
bahkan fungsinya cuma sebagai hiasan, yang nantinya hanya akan bermuara di
kotak mainan.)
Godaan
3: Roll Back
Roll
back bukan roll belakang seperti senam lantai yang diajarkan di pelajaran
Penjaskes saat SMA. Roll back dapat diartikan sebagai produk yang harganya
kembali ke harga lama. Roll back merupakan cara halus penjual untuk membentuk
mindset konsumen bahwa harga produk sekarang sedang murah. Roll back ini
seolah-olah mewajarkan kenaikan harga setiap tahunnya. Padahal kenaikan harga
merupakan buah dari inflasi. Ckck.
Godaan
4: Tambah Seribu, Dapat Dua
Pernah
dengar “Tambah sekian, dapat dua buah”? Jika kita membelinya, kita hanya ingat
telah mengeluarkan uang sebesar “sekian” daripada uang yang dibayarkan untuk
harga aslinya. Misalnya barang yang ditawarkan adalah sebuah gelas seharga Rp.
50.000, jika kita menambah Rp. 1.000, maka kita akan mendapatkan satu gelas
lain. Kita akan lupa dengan Rp. 50.000 itu. Yang kita ingat adalah, “Ah, wong
cuma nambah Rp. 1000, kok.”
Atau
kamu pernah menanggapi iming-iming “beli satu, gratis satu”? Ah, saya jadi
kepikiran kejadian belum lama ini. Setelah mengikuti sebuah kajian, saya dan
Wulan pergi ke sebuah minimarket untuk membeli minuman. Kemudian saya dengar
ada suara menggeletar dari dalam perut saya. Ya, saya lapar. Akhirnya saya berinisiatif
untuk membeli mie. Wulan pun ikutan membelinya. Niatnya, mie tersebut akan kami
rebus bersama di rumah Wulan nanti. Kemudian saya menyadari tulisan berukuran
medium di dekat mie yang Wulan pilih. Tulisan tersebut berbunyi, “beli satu (mie
berukuran besar), gratis satu (mie berukuran kecil)”. Wah, kami girang! Mie
berukuran kecil itu akan kami hibahkan untuk adik termuda Wulan, yaitu Aira.
Sesampainya
di kasir, saya menahan Wulan agar tidak
meletakkan mie bonusnya di atas meja kasir terlebih dahulu. Saya
berpikiran, jika kami meletakkannya
langsung, boleh jadi mie ini tidak terhitung sebagai bonus. Akhirnya saya
bertanya kepada kasir yang sedang melayani. “Mbak, beli ini bonus ini, ya?”
Mbak Kasir mengernyitkan dahi. Selang beberapa detik, ia mulai menjawab. “Iya,
Kak.” Lalu ia mulai menggunakan scanner-nya. Tapi ada raut wajah kebingungan
yang ia tampakkan. Ia pun memanggil rekan lelakinya dan bertanya, “Ini bonus,
ya? Kok, nggak bisa?”
Rekan
lelakinya pun mengambil mie yang Mbak Kasir pegang, kemudian berjalan bolak-balik.
“Oh, yang bonus yang rasa lain.” Saya pun merespon, “Oke, rasa lain saja ndak
apa, Mas.” Mas Kasir pun membawakan saya mie rasa lain berikut bonusnya ke meja
kasir. Kemudian Mbak Kasir menghitungnya kembali, namun tetap tidak bisa. Mas
Kasir pun menghampiri meja kasir dan mengutak-atik komputer mereka. Namun tetap
saja tidak bisa. Karena antrian di belakang saya sudah panjang, maka saya
tersenyum dan menyudahi usaha mereka untuk membonuskan mie kecil untuk kami.
Saya
dan Wulan keluar dengan banyak tanda tanya di benak kami. Bukan, ini bukan
masalah saya dan Wulan adalah orang yang pelit dan irit. Ini masalah kejujuran
dalam bertransaksi. Jikalau memang tidak ada bonus, seharusnya pengumuman itu
dilepas agar tidak menumbuhkan ekspektasi di hati pelanggan. Namun saya dan
Wulan kemudian memaklumi semua itu. Mungkin kesalahan teknis atau semacamnya.
Intinya kami berdoa agar tidak ada lagi kejadian seperti itu.
(Webtoon) |
Saya
bukan Mas Adimas, sih. Jadi tidak dibonusin, deh. :p *pembaca Webtoon “Pasutri
Gaje” pasti ngerti*
Godaan
5: Besok Harga Naik
Dijual
sebuah rumah, besok harga naik, kita beli hari ini, lekas pindah ke sana, lalu
banjir. Boom! Metode promosi ini sengaja mendorong kita agar berpikir impulsif
dan terburu-buru tanpa mempertimbangkan untung-rugi secara mendalam. Biasanya,
produk yang dipromosikan dengan cara memancing ketergesa-gesaan adalah produk
yang dibanting harganya karena memiliki masalah, misalnya tidak laku.
Godaan
6: Meja Kasir
“Udah
ini aja, Kak? Ada lagi?”
“Nggak,
Mbak. Ini aja.”
“Pulsanya
sekalian, Kak?”
“Nggak,
Mbak. Ini aja.”
“Rotinya
nggak mau, Kak? Beli satu gratis satu, lho.”
“Nggak,
Mbak. Ini aja.”
“Baik.
Kembaliannya……..”
“Iya
iya. Sumbangin aja, Mbak.”
Sering
mengalami kejadian seperti di atas? Saya sering, bahkan hingga terbawa mimpi
saking seringnya. Wkwk. Meja kasir adalah medan pertarungan psikologis
terdahsyat. Ketika pembeli lelah sehabis berputar-putar mencari barang yang
diinginkan, kasir memanfaatkan kelengahan itu untuk melancarkan jurus “mendadak
perhatian”-nya. Haha.
Godaan
7: Troli Perbandingan
Supermarket
atau minimarket biasanya mengeluarkan produk atas nama mereka. Tak jarang,
produk mereka tersebut diletakkan di sebuah troli, kemudian di sampingnya
terdapat troli lain yang berisikan produk-produk bermerk lain. Lalu di dekat
situ terpampang tulisan seperti “Bandingkan harganya!”, “Pilih yang murah!”,
dan lain sebagainya seolah-olah yang murah pastilah yang lebih berkualitas.
Menurut Abi Jiha, metode promosi seperti ini dinilai cukup kejam karena
menggunakan perbandingan produk lain. Bisa dikatakan bahwa itu adalah upaya
halus untuk menjatuhkan produk pesaing. Padahal untuk menjadi pemenang tak
harus menjatuhkan lawan, ya. Tingkatkan saja kualitas diri sendiri. Ckck.
Godaan
8: Uang Anda Akan Dikembalikan Dua Kali Lipat
Tempat
perbelanjaan sering memberikan jaminan tidak terjamin untuk para pembelinya.
Contohnya yaitu dengan memasang embel-embel “Barang dapat dikembalikan atau
ditukar dengan uang jika rusak atau tidak sesuai dengan harapan.” Mengapa tidak
terjamin? Karena penjual berbicara seperti itu tanpa memberitahukan bagaimana
prosedur penukarannya. Akhirnya kita terbuai dengan janji manis tersebut, dan
ketika barang rusak, kita malas menuntut jaminan tersebut karena tidak mau
repot untuk hal yang sepele.
Godaan
9: Harga Tidak Tercantum
Kita
melihat sebuah produk yang menarik, kemudian kita ingin membelinya. Namun
sayangnya, tidak terdapat informasi mengenai harga barang tersebut. Apa yang
kita lakukan? Biasanya karena sudah terlanjur ke tempat perbelanjaan tersebut,
kita tetap membelinya. Apalagi jika SPG tetiba datang menawarkan bantuan. Saya
pernah mengalaminya dan saya cukup jengkel dengan keadaan pada waktu itu.
Saat
itu saya mengunjungi sebuah minimarket yang khusus menjual alat make up, produk
skin care, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan kecantikan. Saya sudah
memegang daftar produk yang hendak saya beli beserta pricelist-nya. Saya
berusaha mencari produk incaran saya sendiri, namun saya kesulitan karena
produk-produk di sana cenderung tidak tertata rapi. Rapi dalam pandangan saya
adalah benda-benda tersusun sesuai dengan kategorinya. Namun di toko tersebut,
penempatan produk tidaklah kategoris. Bahkan saya bingung, atas dasar apa
mereka menempatkan produknya seperti itu?
Tapi
saya bisa sabar sampai seorang SPG datang menghampiri dan
terus-menerus berbicara saat saya sedang fokus mencari. Mengapa saya agak
mengabaikannya? Karena ketika saya bertanya tentang produk yang saya inginkan,
ia malah kekeuh berusaha membuat saya membeli produk bermerk lain yang harganya
jauh lebih mahal. Saya hanya membalasnya dengan senyum sampai ia menghilang
dari hadapan saya. DAN… digantikan oleh SPB. Wah, tambah nggak beres,
batin saya. Semakin tidak leluasa.
Ketika
SPB itu lelah menatap senyum manis tanpa kata milik saya, akhirnya dia
pun berlalu. Saya pikir penderitaan saya akan segera berakhir. Ternyata oh
ternyata… Setelah menemukan produk yang saya mau, saya tidak bisa menemukan
info tentang harganya. Memang terdapat daftar harga di bawah masing-masing
produk, tapi daftar harga itu tidak sesuai dengan produknya. Ah, sudahlah. Saya
beli saja sebelum SPG dan SPB itu datang lagi. Dan saya pun kaget saat membayar karena
harga di sana tidak sesuai dengan harga di pricelist yang saya susun di rumah.
Harganya lebih mahal. Untung saja saya bawa uang lebih. Bagaimana kalau tidak?
Haha. Cukup sekali, deh, seperti itu.
Godaan
10: Cuci Gudang
Berhati-hatilah
dengan produk yang dijual dengan dalih cuci gudang, apalagi jika produk itu
berupa makanan. Karena biasanya cuci gudang ialah usaha untuk menghabiskan stok
yang masih tersisa, sementara waktu kadaluwarsanya sebentar lagi.
Dari
hasil pemahaman saya membaca buku “Fiqih Shopping: Kiat Belanja Hemat, Cerdas,
dan Islami”, itulah godaan-godaan psikologis yang dapat merayu kita untuk belanja
secara tidak rasional. Kesepuluh hal di atas tidak dimaksudkan untuk
menyudutkan pihak marketing. Mayoritas godaan di atas sah-sah saja untuk
dilakukan atas kepentingan perusahaan ASALKAN jujur dan ditepati secara konkret
agar tidak melanggar kaidah transaksi yang baik dan benar. Dan untuk pembeli, godaan-godaan
tersebut perlu diketahui supaya bisa lebih bijak dalam berbelanja.
Sejak
tahun 2015, saya bekerja sebagai content writer (namun tahun 2017 ini, saya
pindah perusahaan). Mudahnya, content writer adalah seorang penulis yang
dipekerjakan perusahaan untuk mempromosikan produknya melalui tulisan yang
ditulis dengan teknik Search Engine Optimization (SEO) agar mudah ditemukan di
mesin pencari. Jika kamu melihat konten web sebuah perusahaan di halaman
pertama pada mesin pencari, itu berarti content writer di perusahaan itu cukup
ahli. Maka bisa dikatakan bahwa content writer juga termasuk ke dalam divisi
pemasaran (digital) dalam sebuah perusahaan. Namun satu hal yang saya sukai
dari peraturan di perusahaan (baru) saya. Kami, para content writer, dilarang
untuk menulis dengan gaya yang terlalu superlatif, terutama di bagian tulisan
yang bernada janji. “Kami adalah produsen souvenir paling berkualitas
se-Indonesia”, misalnya. Kalimat seperti itu tidak diperbolehkan.
(pinterest.com) |
Mengapa
tidak diperkenankan? Menurut opini pribadi saya, karena perusahaan start-up kami
menekankan kejujuran dalam bertransaksi. Tidak perlu berlebihan dalam
berpromosi jika belum pasti dapat memberikan apa yang diucapkan pada saat
promosi. Begitulah sekiranya. Dan masih banyak lagi hal yang membuat saya cukup
tertarik dengan pekerjaan saya sekarang ini. Saya harap, tidak hanya perusahaan
saya yang berpromosi dengan elegan, namun juga penjual-penjual lainnya di luar
sana. Bukankah transaksi jual-beli itu seharusnya memang menguntungkan kedua
belah pihak?
Sebagaimana
syarat-syarat umum berdasarkan fiqih Islam, transaksi jual-beli harus memuat
hal ini:
- Orang yang melakukan transaksi harus memiliki kewenangan bertransaksi.
- Orang yang boleh melakukan transaksi, yaitu orang yang merdeka, baligh, berakal sehat, dan mengerti.
- Transaksi harus dilakukan atas dasar rida tanpa paksaan.
- Transaksi tidak mengandung perbuatan yang dilarang.
Kemudian
jika ingin mengetahui sosok yang ahli dalam melakukan transaksi jual-beli untuk
dijadikan panutan, tidak diragukan lagi ia adalah Nabi Muhammad Saw. Rabi bin
Badr pernah melakukan transaksi jual-beli dengan Rasul. Ketika akhirnya mereka
bertemu kembali di waktu lain, Rasul bertanya, “Apakah engkau mengenaliku?”
Kemudian Rabi bin Badr menjawab, “Kau pernah menjadi mitraku dan mitra yang
paling baik pula. Engkau tidak pernah menipuku dan tidak berselisih denganku.”
MasyaAllah.
Sekian
tulisan saya yang berupa rangkuman sebuah buku ditambah bumbu-bumbu curhat ini.
Semoga setelah membacanya, kita bisa mengaplikasikannya juga di dunia nyata.
Baik sebagai pembeli maupun penjual, transaksi yang baik dan benar adalah
prioritas kita semua. Bukankah begitu? So, be a smart shopper then! ;) Saya
pamit undur diri dulu, ya. Habis ini mau langsung belanja di warung sebelah
rumah. Saya sudah tahu trik psikologinya. Jadi kalau yang punya warung
mengelabui saya, saya kelabui balik aja. (?) Wassalamu’alaikum. :)
(pinterest.com) |
No comments:
Post a Comment