04 October 2017

Psychology Summit 2017: Potret Bunuh Diri di Media Kita

(Pic: wall.alphacoders.com)

Assalamu’alaikum. :)
Alhamdulillah, akhirnya saya punya kesempatan untuk merawat blog saya lagi setelah sangat lama blog ini saya jadikan prioritas ke sekian ratus. Haha. Sebenarnya, ini termasuk late post, sih. Bisa saja saya tidak mempublikasikannya seperti tulisan-tulisan lain yang hanya berujung di folder pribadi. Namun batin saya terdorong untuk mempublikasikan tulisan ini. Karena saya rasa, substansi dari apa yang ingin saya sampaikan kali ini setidaknya relatable dengan permasalahan kita bersama di abad ke-21 ini. Saya akan membahas tentang isu bunuh diri. Lebih tepatnya, saya akan menyampaikan apa yang dijelaskan para expert kepada saya tentang isu bunuh diri.
Sebelum masuk ke pembahasan utama, saya ingin berbagi kisah terlebih dahulu. Sekitar tahun 2011 atau 2012, saya mengalami peristiwa luar biasa yang membuat saya lebih memaknai kehidupan. Saat itu, seorang teman saya berkunjung ke rumah saya pada siang hari. Berdasarkan pengalaman, jika seorang teman datang sendirian ke rumah saya dengan gelagat yang buru-buru dan tidak bisa ditunda, maka itu mengisyaratkan bahwa ia ingin menceritakan masalahnya kepada saya secara personal. Maka saya mengajaknya ke kamar saya, tidak seperti teman yang datang untuk bersenang-senang yang lebih nyaman saya jamu di ruang tamu.
Awalnya, kami saling melakukan perbincangan kecil, seperti menanyakan kabar dan bersenda gurau. Setelah ia merasa mulai nyaman dengan saya, barulah ia menceritakan permasalahannya. Menit demi menit berganti, akhirnya teman saya itu tak kuasa menahan air matanya. Saya pun ikut meneteskan air mata pada saat itu, karena memang saya tidak bisa melihat orang lain sedih. Di sela tangisannya, ia berkata kepada saya, “Ti, aku hampir bunuh diri gara-gara ini.” Sontak saya kaget dan berhenti menangis. Kemudian ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tas selempangnya. Sesuatu itu terbungkus di dalam kantung plastik berwarna hitam. Ia menunjukkannya pada saya secara perlahan. Dan sesuatu itu adalah pisau!
Saya mengambil pisau itu dari genggamannya dan sebisa mungkin menjauhkannya dari jangkauan mata dan tangannya. Ia semakin terisak. Saya pun berusaha untuk tidak ikut menangis lagi. Dalam hati, saya berkata pada diri saya sendiri, “Kamu harus kuat kali ini, Put! Kalau kamu lemah, siapa yang akan menguatkan dia?” Bismillah, saya pun berusaha menenangkannya. Proses tersebut tidak bisa langsung berhasil dalam sekejap mata. Saya butuh berjam-jam untuk meyakinkan dia bahwa hidupnya sangat berharga. Akhirnya ia pun terlihat seperti sedang berpikir dan lama-kelamaan menemukan keyakinannya lagi tentang hidup. Singkat cerita, sampai saat ini, teman saya tersebut masih hidup bahkan menjalani kehidupan yang bahagia. Alhamdulillah, saya senang sekali! Meski kami sudah jarang bertegur sapa, dari lubuk hati saya yang paling dalam, saya sangat salut dengan pilihan cerdas dan mulianya untuk melanjutkan hidup.
Yang ada di pikiran saya setelah kejadian itu, andai saja ia tidak punya kesempatan atau orang lain untuk mendengarkan ceritanya, mungkin ia sudah memutuskan untuk benar-benar mengakhiri hidupnya. Sebab ia sudah sangat matang dengan rencana bunuh dirinya; alat, tempat, waktu, dan yang lainnya sudah ia persiapkan. Saya lega Allah telah membimbing saya waktu itu. Allah membimbing saya dengan sifat simpati dan empati yang Ia sisipkan pada tiap hati hamba-Nya. Saya saat itu adalah seorang murid SMA culun yang jelas tidak punya latar belakang psikologi. Saat berada di tengah situasi seperti itu, apa lagi yang dapat saya andalkan selain simpati dan empati saya? Saya membiarkan hati saya bermain pada saat itu. Alhamdulillah, sekali lagi, Allah-lah yang membimbing saya.
Bukan. Itu bukan fiksi. Dan saya yakin, beberapa di antara kalian juga pasti pernah memiliki teman atau keluarga yang ingin bunuh diri, atau bahkan kalian sendiri yang ingin melakukan hal tersebut. Ya, permasalahan bunuh diri memang dekat sekali dengan keseharian kita. Saya sangat bersyukur karena pada tahun 2017 ini, isu kesehatan mental sudah berani disuarakan di mana-mana. Hal itu mengindikasikan bahwa kesehatan mental sudah mulai dianggap sebagai sesuatu yang penting dalam keseharian kita.

(Sumber: Healthy Place)

Pada tanggal 23 September 2017, saya mendapatkan kesempatan untuk menghadiri seminar dalam rangkaian acara Psychology Summit Universitas Indonesia (UI) 2017. Terhitung, sudah tiga kali Psychology Summit ini diadakan oleh Fakultas Psikologi UI. Saya pernah hadir pula ke acara Psychology Summit UI yang pertama, yang kisahnya dapat teman-teman baca di sini. Namun saya tidak bisa menghadiri Psychology Summit UI yang kedua karena sebuah alasan.
(Sumber: Twitter)
Saya sangat tergugah dengan seminar yang bertema “Suicide Portrayal in Our Media” (Penggambaran Bunuh Diri di Media) tersebut. Selain karena memang saya berminat besar dalam isu psikologi, saya juga secara objektif berpikir bahwa isi dari seminar tersebut sangat menarik dan bermanfaat. Pembicaranya pun keren-keren, yaitu Mas Ivan Sujana yang merupakan seorang psikolog klinis yang juga mengajar di Fakultas Psikologi UI, Pak Bambang Harymurti yang merupakan seorang jurnalis profesional dan pimpinan editor di Tempo, Mbak Fairuziana yang merupakan dosen Fakultas Psikologi UI bidang psikologi sosial, dan Kak Benny Prawira Siauw yang merupakan kepala koordinator Into The Light Indonesia.
Setelah ini, saya akan menjabarkan insight yang saya dapatkan dari keempat pembicara di atas. Namun sebelumnya, saya himbau teman-teman agar membacanya dengan penuh perhatian karena ini dapat saja menyangkut nyawa orang-orang di sekeliling kita. :) Bismillah…

Mas Ivan
  • Dilansir dari World Health Organization (WHO), Indonesia menempati posisi terakhir di Asia Tenggara dalam hal tingkat bunuh diri. Namun jangan senang dulu! Data tersebut hanya berdasarkan laporan yang berhasil dilaporkan. Sedangkan yang tak tercatat dan baru melakukan percobaan bunuh diri tidak termasuk di dalam data tersebut.
  • Definisi bunuh diri yaitu menyakiti diri hingga sampai ke batas fatal dan memiliki niat untuk mati. Jika menyakiti diri sampai batas fatal namun tidak berniat untuk mati, itu bukan bunuh diri.
  • Terdapat beberapa fase sebelum seseorang melakukan bunuh diri, yaitu 1) Passive Suicide Ideation, mulai ada pemikiran tentang bunuh diri namun belum ada perencanaan; 2) Active Suicide Ideation, keinginan bunuh diri tersebut sudah mulai direncanakan; 3) Suicide Attempt, yaitu percobaan bunuh diri.
  • Selain bunuh diri, ada pula yang disebut dengan Non-Suicidal Self Injury, yaitu menyakiti diri sendiri tapi tidak berniat mati. Kegiatan ini hanya bersifat demonstratif dengan niat mengancam untuk memperoleh tujuan pribadi. Misalnya seorang anak yang meminum cairan pencuci tangan karena dilarang pacaran oleh orangtuanya.
  • Apa sebenarnya yang dirasakan oleh mereka yang ingin bunuh diri? Crippling emotions, yaitu 1) lelah menghadapi kehidupan, di ambang toleransi, tertekan namun terbatas dalam strategi penyelesaian masalah; 2) malu karena tidak melakukan sesuatu yang benar; 3) merasa tidak berguna, tidak mampu, tidak berharga; 4) merasa telah mengecewakan orang lain; 5) merasa sendirian karena tidak diterima dan tidak diinginkan; 6) tidak punya tujuan yang ingin dicapai; 7) tidak punya harapan atas alternatif penyelesaian masalah.
  • Apa saja faktor yang menyebabkan seseorang ingin bunuh diri? 1) Faktor makro, biasanya disebabkan oleh ketidakstabilan ekonomi; 2) Faktor individual, yaitu bawaan genetik, gangguan psikologis, penggunaan narkotika; 3) Faktor lingkungan, yaitu pengaruh media dan adanya kesempatan.
  • Apa tanda-tanda seseorang yang ingin bunuh diri? 1) Konten percakapannya tentang hidup setelah kematian dengan penuh pengandaian, cara pandangnya negatif terhadap diri sendiri meski terdengar sedang bercanda; 2) Bertindak seakan hari ini adalah hari terakhirnya, melunasi semua hutang-hutangnya, meminta maaf tiba-tiba atas semua kesalahannya, mengurusi hal-hal yang belum dibereskan, menutup diri; 3) Mood-nya depresif, minat untuk bersosialisasi turun.
  • Apa yang harus kita lakukan jika ada orang yang ingin bunuh diri atau jika kita sendiri yang mau bunuh diri?
          1) Siskamling, alias memperhatikan orang-orang di sekitar, terutama orang-orang terdekat seperti keluarga, pasangan, dan sahabat;
    2) Anjurkan seseorang yang ingin bunuh diri untuk melakukan kebaikan-kebaikan kecil, seperti menolong orang lain. Karena percayalah, ketika seseorang melakukan hal baik, dia akan merasa hidupnya berguna;
    3) Carikan teman yang pengertian atau langsung menuju ke tenaga profesional;
    4) Pergi dari ruangan yang sepi ke ruang publik yang ramai;
    5) Syukuri hal-hal kecil. Apresiasilah diri sendiri atau teman yang ingin bunuh diri;
    6) Pindah ke Barbados! Karena Barbados tercatat sebagai negara yang paling rendah tingkat bunuh dirinya. Atau minimal, pergilah liburan!
(Sumber: Healthy Place)

Pak Bambang
  • Pers yakin bahwa orang-orang akan lebih percaya suatu informasi dari cara penyampaiannya daripada kebenaran informasi itu sendiri.
  • Pers diawasi oleh Dewan Pers yang memperhatikan Kode Etik Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia yang lebih memakai perspektif publik.
  • Pers Indonesia sendiri belum memiliki kode etik khusus untuk mengatur pemberitaan tentang bunuh diri.
  • Di Thailand pernah ada kasus yang berkaitan dengan pers dan bunuh diri. Saat itu, seorang dosen membunuh dua orang dosen lainnya. Setelah itu, dosen tersebut dikepung oleh pihak kepolisian, namun ia malah mengancam ingin bunuh diri jika polisi tidak kunjung pergi. Pers menyiarkan berita tersebut secara langsung selama lima jam. Ternyata dosen itu akhirnya benar-benar menembakkan peluru ke kepalanya, dan tersiarkan oleh beberapa stasiun televisi secara langsung. Hal tersebut membuat Thailand mengkaji ulang peraturan persnya.
  • Di Jepang, bunuh diri justru kadang dianggap sebagai budaya. Zaman dahulu, jika seorang perempuan sudah berusia 60 tahun, ada tradisi menggendongnya ke sebuah bukit di Jepang dan meninggalkannya agar ia membunuh dirinya sendiri. Hal tersebut dikarenakan pihak keluarga sudah tidak mau repot lagi mengurusinya. Bukit atau gunung tersebut pun sampai saat ini dijadikan tempat untuk bunuh diri oleh banyak pihak. Satu sisi, pers ingin menyiarkan liputan tentang bukit atau gunung tersebut untuk mendongkrak pariwisata Jepang. Namun di sisi lain, pers dilemma akan minat bunuh diri yang boleh jadi meningkat karena penyiaran tersebut.
  • Di Norwegia, tahun 2006 merupakan tahun yang berbeda untuk para pers. Di mana sebelumnya pemberitaan bunuh diri dilarang untuk disiarkan, namun pada tahun 2006 ini justru mulai diperbolehkan. Perubahan kebijakan itu terjadi lantaran pada tahun 90-an, anak dari presiden Norwegia ada yang meninggal karena bunuh diri. Pers merasa ahrus menyiarkan berita bunuh diri tersebut, karena tokoh yang bunuh diri tersebut memiliki relasi dengan tokoh publik. Akhirnya setelah kejadian itu, pada tahun 2006, berita bunuh diri boleh disiarkan di Norwegia selama berkaitan dengan tokoh publik.
  • Menurut Pak Bambang, pers boleh menyiarkan berita bunuh diri, namun dengan catatan jangan men-glorifikasi bunuh diri tersebut seolah bunuh diri adalah tindakan yang benar.

Mbak Fairuz
  • Kita patut bersyukur bahwa akhir-akhir ini isu kesehatan mental sudah mulai diperbincangkan di mana-mana. Itu berarti masyarakat sudah mulai aware bahwa orang yang memiliki banyak masalah pun bisa berujung pada kematian, sama seperti orang yang mengidap penyakit lain selain penyakit mental.
  • Konteks bunuh diri itu sangat kompleks, tidak bisa digeneralisasi. Misalnya saja seseorang yang mengidap schizophrenia melakukan aksi bunuh diri. Kita melihatnya sebagai bunuh diri semata. Padahal seseorang tersebut mungkin tidak merasa sedang melakukan bunuh diri. Bisa saja ia berdelusi bahwa di tubuhnya ada banyak ular yang menggigit, sehingga ia mau membunuh ular yang ada di dalam tubuhnya tersebut dengan menusuk-nusuk tubuhnya sendiri.
  • Kita harus cerdas dalam membedakan berita yang sensasional dan berita yang informatif. Berita sensasional tentang bunuh diri biasanya memasukkan unsur privasi, seperti menampilkan foto dan detail privasi lainnya seolah-olah bunuh diri adalah tindakan kriminal. Bunuh diri masalah kesehatan, bukan kriminal.
  • Di India, telah terbukti bahwa semakin tinggi pemberitaan tentang bunuh diri, semakin tinggi pula minat masyarakat untuk bunuh diri.
  • Mengapa pemberitaan bunuh diri di media dapat mendorong masyarakat untuk melakukan hal serupa?1) Cultivation Theory, di mana orang yang menggunakan media tidak bisa membedakan mana dunia maya dan mana dunia nyata;
    2) Social Copy Cat Theory atau Werther Effect. Pada tahun 1774, di Eropa pernah terbit untuk pertama kalinya sebuah novel berjudul “The Sorrow of Young Werther”. Novel tersebut digemari secara masif oleh anak-anak remaja Eropa pada zamannya. Sehingga remaja-remaja Eropa mulai banyak yang meniru tokoh utama dalam novel itu, yaitu Werther. Remaja-remaja Eropa meniru gaya Werther yang kerap menggunakan jaket biru panjang, celana panjang kuning, dan atasan berkerah terbuka. Selain meniru gaya berbusana Werther, ternyata remaja-remaja Eropa pun meniru tingkah laku Werther saat patah hati terhadap Charlotte (tokoh yang dicintai Werther), yaitu bunuh diri! Terhitung sekitar 2000 jiwa remaja di Eropa melakukan bunuh diri dengan menembakkan pistol ke kepala seperti apa yang dilakukan Werther. Mereka menganggap bahwa hal itu adalah sesuatu yang keren. Itulah mengapa kasus copycat bunuh diri ini kerap disebut dengan Werther Effect.
  • Lihat, kan, bagaimana media dalam bentuk apapun itu dapat berpengaruh terhadap niat bunuh diri masyarakat? Namun yang pasti, media bukanlah single factor dalam mendorong tindakan bunuh diri.
(Sumber: Healthy Place)
Kak Benny
  • Saat-saat paling kritis yang dialami oleh seseorang yang ingin bunuh diri adalah ketika tidak ada orang lain yang mendengarkan.
  • Jangan pernah menyebut orang yang bunuh diri tapi tidak mati dengan sebutan “bunuh diri gagal”. Sebutlah dengan “percobaan bunuh diri”. Karena mati bukanlah indikator keberhasilan.
  • Angka kematian bunuh diri lebih besar daripada angka kematian akibat perang dan bencana alam. Tiap 40 detik, terdapat satu orang yang bunuh diri di dunia ini.
  • Menurut WHO, depresi adalah penyakit mematikan kedua di dunia.
  • Pada tahun 2020 hingga 2030, Indonesia diperkirakan akan mengalami bonus demografi, di mana jumlah populasi akan meningkat drastis dan dipenuhi oleh populasi berusia muda. Lantas, kita punya apa untuk menghadapi depresi sekian banyak orang?
  • Banyak bunuh diri yang tidak tercatat. Misalnya saja seseorang yang dikira mengalami kecelakaan mobil, padahal sesungguhnya ia sengaja menabrakkan dirinya.
  • Keluarga atau orang terdekat dari seseorang yang bunuh diri disebut dengan penyintas kehilangan. Seorang penyintas kehilangan merasakan emosi kehilangan yang kompleks, sehingga nantinya berpotensi untuk ikut bunuh diri juga. Untuk itu, jika ada kerabat yang baru ditinggalkan oleh seseorang yang bunuh diri, cobalah untuk lebih aware dengannya.
  • Jika ada seseorang yang ingin bunuh diri, pencegahan dasarnya sebenarnya hanyalah menemani dan mendengarkannya. Namun jika kita merasa tidak mumpuni, maka langsung saja membawa ia ke tenaga ahli seperti dokter, psikolog, atau psikiater. Biasanya, seseorang yang dianjurkan untuk menemui tenaga ahli akan menolak anjuran tersebut dengan alasan tidak cukup biaya dan takut dengan stigma “gila” yang diberikan lingkungan kepadanya. Oleh karena itu, mulailah untuk berhenti memberi stigma buruk pada mereka yang ingin melakukan bunuh diri.

Sesi Tanya-Jawab
  • Mas Ivan: Jika harus mengaitkannya dengan kepribadian, kepribadian yang rentan untuk bunuh diri ialah Borderline Personality. Borderline Personality dicirikan dengan ego dan emosi yang belum terbentuk. Untuk ciri selengkapnya, bisa di-googling.
  • Mas Ivan: Curhater (orang yang curhat) akan ditempatkan pada Curhati (orang yang mendengarkan curhat) yang tepat. Jika dalam pertengahan sesi curhat sang Curhater breakdown, anjurkan ia untuk stop atau beristirahat dahulu untuk curhat. Tidak perlu dipaksakan. Tidak perlu merasa bersalah.
  • Kak Benny: Setuju dengan Mas Ivan. Sebab counseling is art, not science.
  • Kak Benny: Memang ada bunuh diri yang justru difasilitasi oleh pemerintah, contohnya yang ada di Belgia dan Belanda. Namun itu bukan bunuh diri biasa. Itu disebut dengan Euthanasia, yaitu praktik pencabutan nyawa manusia dengan cara yang tidak sakit, yang sebelumnya dipilih dengan pemikiran rasional bahwa jika seseorang itu hidup justru hidupnya malah lebih menderita. Misalnya saja, orang yang sudah sakit keras. Daripada ia menderita, lebih baik diakhiri saja hidupnya. Euthanasia disebut juga dengan kematian baik atau kematian terhormat. Di Indonesia, hukum tentang Euthanasia masih diperdebatkan.
  • Mbak Fairuz: Untuk para pembelajar psikologi, mulailah ganti topik pembicaraan dari “cara membaca pikiran orang”, “cara lolos psikotes”, dan lain-lain menjadi cara menjaga kesehatan mental. Kesehatan mental ini adalah tanggung jawab multidisiplin; tanggung jawab kita semua.
(Sumber: Healthy Place)

Nah, itulah serangkaian ilmu yang saya catat dari seminar “Suicide Portrayal in Our Media” dalam Psychology Summit UI 2017. Mungkin masih banyak hal yang tidak tertangkap oleh saya. Tapi semoga tulisan ini dapat menggerakkan teman-teman untuk ikut peduli dengan kesehatan mental di lingkungan kita, khususnya di kalangan orang-orang terdekat kita. Ingatlah bahwa 90% penyakit umumnya berawal dari pikiran yang tidak sehat. Bukan hanya sakit fisik yang bisa menyebabkan kematian, namun juga sakit hati dan sakit pikiran. Untuk kamu yang sedang dirundung masalah, jangan takut untuk bercerita, ya! Saya dan teman-teman lain siap untuk mendengarkanmu. It’s okay to talk. Sekian. Wassalamu’alaikum. :)
“Ingatlah sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati.” (HR. Bukhari No. 52 dan Muslim No. 1599)
Yuk sama-sama jaga pikiran dan hati!

(Sumber: Pinterest)

No comments:

Post a Comment