30 April 2018

Menjadi Keluarga Sakinah di Zaman Fitnah

(Pic: muslimvillage.com)

Hai! Assalamu’alaikum.
Fix, postingan ini menjadi postingan pertama saya di tahun 2018. Lama tidak menulis untuk blog bukan karena sibuk dengan urusan lain. Sibuknya sama saja, sibuk nulis juga. Cuma yang ini agak beda, lebih memicu hormon stress dibanding hormon bahagia. Yap, si empunya blog sedang menggarap skripsi. Jangan ditanya kapan lulus (apalagi kapan nikah), karena pertanyaan itu sudah terlalu mainstream. Doakan saja semoga disegerakan. Dan mengenai postingan kali ini…. Semoga bisa menjadi "appetizer" yang bergizi bagi otak dan hati penulis serta pembacanya untuk tahun 2018 ini, yaaa.
Iman itu fluktuatif. Saya rasa semua orang memahaminya. Salah satu obat mujarab bagi keadaan iman yang sedang futur adalah dengan mendatangi majelis ilmu (atau kalau bahasa saya, duduk manja nan anteng di taman-taman surga). Nah, berhubung belakangan ini hari-hari saya dipenuhi oleh rutinitas skripsian khas anak semester akhir, saya menyadari bahwa sudah lama sekali saya tidak ikut kajian keislaman. Terlebih sebelumnya saya curhat dengan Dik Yubi Nabila dan Mbak Wety Artika tentang solusi untuk menghadapi fluktuasi iman, dan keduanya menyebut “menghadiri kajian” sebagai solusi manjur atas hati yang sedang terombang-ambing menjauh dari agama-Nya. Terima kasih, Dik Yub dan Mbak Wet atas sharing-sharing-nya! Kece banget lah para calon istri idaman ini. Xx.

(Chat Yubi)

(Chat Wety)

Pagi, 29 April 2018, saya melihat-lihat status WhatsApp teman-teman di kontak saya. Qadarullah, Allah hears my intention. Saya menemukan informasi tentang kajian yang sepertinya seru di status teman saya, Amelia Larasati (Yap, kami sama-sama berasal dari klan Larasati yang ingin menyerang negeri Konoha). But… wait, what? Jadwal kajian tersebut hari ini juga dan jam 9? Saat saya melihat jam, waktu sudah menunjukkan pukul setengah 8. Mengingat bahwa jarak rumah saya terlampau jauh dari lokasi kajian, saya menjadi ragu. Namun syafaatnya punya teman yang shalihah itu, saat niat kita sudah mulai nge-blur, pasti dia menajamkannya kembali. Akhirnya… bismillah, saya berangkat. Lagian bete juga di rumah terus. Heu.

(Chat Amel)

Saya sempat menghadapi beberapa kendala di perjalanan, seperti macet dan jalan yang diblokade karena hari Minggu. Namun alhamdulillah dikirimkan Abang Go-Jek yang sabar dan sopan oleh Allah. Hingga akhirnya pukul setengah 10-an saya sampai di Masjid Nurul Islam Islamic Center Bekasi. Telat setengah jam, namun sepertinya pembahasan belum terlalu jauh. Saya pun duduk di barisan belakang karena masyaAllah masjidnya penuh sekali. Bahkan sampai ada orang yang duduk di tangga-tangga kecil. Hmm, ternyata yang tertarik dengan kajian ini bukan hanya saya saja. Selain karena ustadznya kondang, tema kajiannya juga masyaAllah, gengs. Temanya…. Seperti pada judul postingan saya, yaitu "Menjadi Keluarga Sakinah di Zaman Fitnah." Kebanyakan yang datang adalah pasangan suami-istri. Saya? Ndak apa lah sendiri dulu. Yang penting punya ilmunya dulu, deh, sebelum jodoh benerannya. Haha.
Seperti biasa, saya mencatat apa yang saya dengar. Namun jujur saja, kali ini saya terkendala oleh suara bising karena masifnya jumlah pendatang dan volume speaker yang kurang kencang. Tapi itu bukan masalah besar, kok. InsyaAllah masih ada yang bisa dipetik dari kajian yang diisi oleh K.H. Imtihan Asy-Syafi’i dan Ustadz Oemar Mita, Lc. tadi.
Sebelum masuk terlalu jauh ke dalam materi, sakinah adalah keadaan damai, tentram, tenang, dan aman dalam berumah tangga. Lalu apa itu zaman fitnah? Ya zaman yang saat ini sedang kita hadapi. Zaman di mana banyak orang munafik, tersebarnya syirik, bertubi-tubinya ujian, dan lain sebagainya. Setiap zaman memiliki tantangannya masing-masing. Dan pada zaman di mana kita hidup sekarang, tantangannya justru lebih berat karena terkadang ketidakbaikan itu terselubung. Dengan demikian, penting untuk mengetahui apa yang dapat kita lakukan sebagai anggota keluarga agar kita dan keluarga bisa menghadapi zaman fitnah ini dengan baik. Berikut sedikit yang dapat saya catat...

K.H. Imtihan Asy-Syafi’i

  • Sebelum menikah, penting untuk mengetahui bahwa menikah itu bukan hanya anjuran tanpa sebab. Menikah itu disyariatkan oleh Allah. Sebagaimana Ibnu Qayyim berkata, “Pondasi dan asas syariat adalah hikmah dan kemaslahatan untuk dunia dan akhirat.” Maka menikah juga demikian, disyariatkan karena mengandung hikmah dan kemaslahatan untuk umat manusia baik di dunia maupun akhirat. Tidak mungkin Allah mensyariatkan sesuatu yang tidak ada manfaatnya.
  • Beberapa di antara tujuan pernikahan adalah memperbanyak keturunan dan membentuk generasi yang shalih-shalihah. Dalam Islam, sebenarnya tidak ada masalah jika kedua orang menikah tidak didasari oleh rasa saling mencintai karena cinta adalah sesuatu yang bisa diupayakan. Bagaimana kalau pasangan mandul sehingga tidak bisa mencapai tujuan pernikahan untuk memperbanyak keturunan? Ujian itu adalah kesempatan emas untuk saling bersyukur karena kita dan pasangan sama-sama bisa membantu menjaga kehormatan satu sama lain. Bagaimana jika ketika kita menikahi pasangan tanpa mencintainya kemudian kita jatuh cinta dengan orang lain? Tidak mengapa, karena itu cinta yang datangnya tiba-tiba. Selama kita tidak mengekspresikannya, cinta itu akan pudar, kalah dengan cinta yang diupayakan dan diekspresikan.
  • Jika kita sudah memahami tujuan-tujuan disyariatkannya pernikahan, maka kita perlu mengevaluasi tujuan menikah tersebut secara berkala. Apabila sudah bertahun-tahun menikah namun ada tujuan pernikahan yang belum tercapai, kita berhak untuk menuntut atau membicarakannya secara baik-baik dengan pasangan kita. Kira-kira tujuan tersebut masih bisa diupayakan atau tidak? Kalau menikah dengannya malah membuat kita menjauh dari Allah dan agamanya, silakan dipikir ulang.
  • Buat yang masih single, menikah itu sungguh ajaib. Dengan menikah, diri kita terjaga. Perempuan, kalau ke mana-mana ada mahrom yang sigap menemani. Laki-laki, kalau perut lapar dan badan pegal ada si doi yang memasakimu dan memijatimu. Sebaliknya juga demikian, bisa saling bergantian menjalankan tugasnya. Pokoknya, segalanya lebih terjaga daripada hidup sendirian. Tak heran mengapa banyak orang yang setelah menikah terlihat lebih sehat, berisi, dan bahagia. Kemudian menikah juga bisa menjaga harta dan menambah nilai barokahnya. Saat masih jomblo, uang 1,5 juta rupiah terasa kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri. Saat sudah menikah Anda bingung, kok uang sekecil apapun tetap cukup-cukup saja, ya? Ya itu karena perhitungan rezeki dari Allah untuk jomblo dan pasangan yang sudah menikah berbeda. Sebagaimana yang terdapat dalam nash-nash-Nya, bahwa menikah itu membuka pintu rezeki baru. Percayalah, sekali lagi, Allah tidak akan mensyariatkan sesuatu jika sesuatu itu tidak ada manfaatnya.

Ustadz Oemar Mita, Lc

  • Ini penting, ada riwayat yang mengatakan bahwa memori tentang berkeluarga adalah bagian terindah dari kehidupan di dunia yang tidak bisa kita lupakan ketika kita di akhirat nanti. (Asli, saya merinding mendengar ini.)
  • Terdapat empat sifat keluarga menurut Al-qur’an, yaitu:
  1. Perhiasan. Keluarga dapat bersifat seperti perhiasan. Itulah mengapa tak jarang kita sering membanggakan anggota keluarga kita di depan orang lain. Karena sifat keluarga memang bisa menjadi penghias diri kita. Misalnya, saat kita diledek sebagai lulusan SMA, kita bisa berkata, “Biarpun saya cuma tamatan SMA, alhamdulillah suami saya S-2.” Bisa juga saat orang berkata bahwa profesi kita rendah, kita dapat membalasnya dengan, “Tidak masalah, yang penting pekerjaan anak saya lebih bonafit daripada saya.” Karena memang sejatinya keluarga adalah bagai perhiasan.
  2. Musuh. Ini nyata. Ada keluarga yang sifatnya bisa menjadi musuh. Misalnya Qabil membunuh Habil karena memperebutkan istri yang cantik, kakak-kakak Nabi Yusuf mencelakai Yusuf karena iri dengan perhatian ayah mereka terhadap Yusuf, Abu Jahal dan Abu Lahab memerangi keponakannya sendiri yaitu Rasulullah Muhammad SAW karena haus kekuasaan politik dan harta, dan masih banyak contoh lainnya. Dalam keseharian kita juga sering kita jumpai keluarga yang bermusuhan. Jika ditarik garis lurus, penyebab dari keluarga yang menjadi musuh hanya satu hal, yaitu orientasi duniawi. Setan mudah sekali merusak hubungan kekeluargaan dengan membisikkan pada manusia betapa indahnya kehidupan duniawi. Akhirnya anggota keluarga pun bermusuhan misalnya karena berebut warisan, iri dan dengki, dan lain sebagainya.
  3. Ujian. Suami yang temperamental, anak yang gemar membangkang, dan lain-lain merupakan bukti bahwa sifat keluarga bisa menjadi ujian. Allah menjadikan keluarga sebagai salah satu sumber ujian justru karena Allah sayang. Jangan berkata bahwa kita menyesal menikahi pasangan atau merawat anak-anak kita. Allah tidak pernah salah dalam mempersatukan insan-insan dalam ikatan kekeluargaan, semua pasti ada tujuannya. Boleh jadi dengan memiliki suami yang temperamental atau anak yang gemar membangkang, Allah sedang melatih kita untuk menjadi orang yang sabar dan ikhlas. Sebagaimana ada yang mengatakan bahwa keluarga itu justru ladang amal kita. Kelebihan mereka untuk kita syukuri, kekurangan mereka untuk membuat kita sabar dan berupaya mengintrospeksi.
  4. Guru Ta’lim. (Saya tertinggal pada bagian ini, jadi tidak terlalu bisa menjelaskan banyak). Pada intinya, keluarga dapat memiliki sifat sebagai pendidik agama Islam terhadap pasangan maupun anak-anaknya.
  • Dapatkah kita bertemu keluarga kita nanti di akhirat? Terdapat tiga jawaban untuk pertanyaan tersebut, yaitu:
  1. Keluarga yang akan berpisah selama-lamanya (tidak bertemu di akhirat). Tipe yang pertama ini biasanya adalah untuk orang-orang kafir dan musyrik. Saat di perjalanan menuju akhirat, ketakutan akan neraka memenuhi pemikiran mereka, sehingga mereka tidak terpikirkan sedikitpun tentang keinginan bertemu dengan keluarga.
  2. Keluarga yang bertemu lagi di akhirat karena urusan bathil. Di akhirat nanti akan ada istri yang bertemu dengan suami karena istri tersebut mengambinghitamkan suaminya atas dosa dirinya sendiri yang tidak berhijab pada saat hidup di dunia. Istri tersebut menyalahkan suaminya karena tidak menjadi suami yang baik yang mewajibkan istrinya untuk memakai hijab. Kemudian ada pula anggota keluarga yang dipertemukan karena ketika masih hidup anggota keluarga tersebut menyembunyikan dan mendiamkan kejahatan anggota keluarga yang lainnya. Misalnya, semasa hidup sang adik adalah pengedar narkoba. Sang kakak mengetahuinya, namun memilih untuk diam. Dan masih banyak contoh lainnya. Di akhirat, keluarga yang seperti itu akan dipertemukan untuk membagi-bagi pertanggungjawaban dosa. Naudzubillah. Tidak enak sekali dipertemukan dengan keluarga di akhirat karena urusan yang tidak baik.
  3. Keluarga yang bertemu lagi di akhirat karena kekuatan cinta dan iman. Ini adalah kategori terbaik. Keluarga yang saling mencintai dengan teramat sangat dan didasarkan dengan cintanya kepada Allah akan bertemu lagi di akhirat dengan cara yang amat indah. Biasanya keluarga ini adalah keluarga yang anggotanya shalih-shalihah. Mereka akan berkumpul di surganya Allah kelak. Namun ada juga tipikal keluarga yang tidak semuanya shalih dan shalihah, namun karena mendapatkan syafaat dari doa anak yang shalih-shalihah, maka mereka akan ikut masuk surga. Seseorang yang hendak masuk surga tidak akan duluan masuk ke dalam surga. Ia menunggu anggota keluarga lain di depan pintu surga, untuk kemudian mengajak anggota keluarganya yang lain masuk bersama-sama ke dalam surga meskipun sebelumnya anggota keluarganya tersebut tidak diizinkan masuk ke surga. MasyaAllah. Itulah mengapa mendidik anak agar menjadi shalih-shalihah adalah suatu keharusan. Agar kelak doanya dapat menjadi syafaat untuk kita. Dan kita sebagai anak juga harus menjadi anak shalih-shalihah jika kita benar-benar sayang dengan keluarga kita.
  • Lalu bagaimana tips menjadi keluarga sakinah di zaman fitnah ini? Jangan hanya menjadi ahli ibadah; jadilah orang yang berjiwa muslim. Keluarga adalah modal utama dalam kebangkitan Islam. Maka didiklah keluarga kita agar kelak menjadi manusia-manusia yang dapat membantu agama Allah. Pernah suatu ketika Rasulullah ditanya tentang orang yang mandul. Rasul menjawab, “Sesungguhnya orang yang mandul adalah orang yang memiliki banyak anak, namun tidak ada satupun anaknya yang dapat memberikan manfaat bagi agama.” Untuk itu, penting mencari pasangan ideologis, jangan hanya pasangan biologis. Agar kelak dapat bersama-sama membangun keluarga yang berjiwa muslim. Kemudian sedari kecil, tanamkan juga di pikiran anak bahwa ia harus mencintai orang yang beriman. Karena kita tidak bisa membangkitkan Islam sendiri. Kita perlu penerus dan keturunan yang ingin membangkitkan Islam juga agar tujuan mulia kita dalam berkeluarga tidak terputus sampai generasi-generasi berikutnya.



(Pic: Status WhatsApp Amel)

MasyaAllah. Saya tidak menyesal datang ke kajian tersebut. Saya pulang dengan hati yang tenang dan semangat untuk memperbaiki diri serta keluarga saya di rumah. Semoga tulisan saya ini bisa memberikan efek yang sama untuk kamu yang belum berkesempatan menghadiri kajian tersebut, ya. Kamu nggak perlu malu dicap kebelet nikah hanya karena datang ke kajian bertema pernikahan atau keluarga. Sebab apa? Sebab kata para orang terdahulu, mendidik anak itu harus dimulai 20 tahun sebelum kelahirannya, yaitu dengan mendidik ibunya terlebih dahulu. Percayalah, nanti judgment buruk tentangmu dari orang lain akan terbayar lunas dengan ilmu dan ketenangan hatimu saat menghadapi pernikahan dan keluarga yang sesungguhnya. Aamiin, insyaAllah. Sekian. Wassalamu’alaikum. J

2 comments:

  1. wanita pilar rumah tangga.
    knp harus nyasar kesini? walahhh
    tapi ada komentar dari seorang ustadz tentang pernikahan. dia berkata yg kalo gak salah seperti ini
    "kesalahan seorang motivator itu memprovokasi orang untuk menikah dengan menceritakan hal2 yang manis saja"

    Visit juga blogku cek profile

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai, Ridous! Makasih sudah berkunjung. Hmm, semoga nyasarnya berfaedah ya haha.

      Menanggapi isu yang kamu angkat, saya sepakat. Kebanyakan dari motivator memprovokasi dengan cara memberi gambaran positif saja tentang pernikahan. Tapi nggak semua kok. Menurut saya, motivator ada yang asset-based dan ada pula yang problem-based. Sama seperti audiens, ada yang lebih termotivasi dengan kata-kata indah, ada juga yang lebih termotivasi dengan realita yang menampar. Hehe.

      Jika dikaitkan dengan kajian yang saya ikuti, saya pikir bobot antara gambaran manis dan pahitnya menikah cukup seimbang. Selain para ustadz menjelaskan tentang manfaat menikah, terdapat pula penjelasan tentang keluarga yang bisa menjadi musuh, keluarga yang tidak dapat bertemu lagi di akhirat, dll (kamu paham kok kalau kamu baca tulisan ini sampai habis). CMIIW.

      Btw, blogmu keren! Semangat menulis terus ya! :)

      Delete